Insecurity Aku dan Abumi

"Jangan pernah tampilin Abak lagi pas video call, ya? Lain kali jangan dibuat begitu."

Kata Abak dalam aksen bahasa minang.

Aku tidak begitu mendengar jelas kalimat Abak barusan karena mendadak sekaligus aku sedang mengerjakan hal lain.

Aku sejenak terdiam.

Apa lagi? Apa aku melakukan kesalahan hal lain?

"Ndak suko Abak dow."

Aku berusaha menangkap cerita tanpa meminta Abak untuk mengulang kalimatnya.

"Bilangnya Abak kuruih, sakik..." Jelas Abak lagi.

Aku mengernyitkan dahi, owh...video call tadi? Sepertinya Aku tidak tahu tentang hal itu.

Jadi ceritanya begini....


***

Sebuah panggilan masuk video call group.

Aku menekan tombol hijau untuk menerima panggilan video call group itu.

Ada tiga layar yang tampil. Kami membahas terkait kondisi Amak yang kemarin sempar drop lagi.

Lalu, disalah satu layar menampilkan Abak yang sedang bertukang di rumah kakak kandungku. Paham?

Nah, disana Abak memang mempunyai fisik yang tidak begitu gemuk. Perawakan beliau memang tidak setinggi orang eropa, tinggi Abak khas orang Asia sekali. Namun karena aku sedang kerja aku mengakhiri obrolan video call group tersebut. Tanpa kuketahui ternyata ada masuk komentar dari orang yang didalam video tersebut (orang disekitar) berkomentar yang membuat Abak tidak nyaman.

"Ba a kok kuruih na apak ko? Sakik?" (Kenapa kurus sekali, Pak? Sakit?)

Disitulah Abak merasa tersinggung dan itulah yang beliau peringkatkan padaku.

"Lain kali jangan tampilin Abak lagi saat video call! Ndak sukak Abak disebut kayak gitu."

Aku terdiam. Baru kali ini aku merasakan sisi Abak yang kalau di anak muda sekarang menyebutnya "insecure"

Amak juga ikut menambahkan cerita. 

"Amak juga begitu, waktu kondangan keluarga, disuruh ganti bajunya. 'Ba a baju Uni ko, tukalah."

What? Mereka memperlakukan Amak ku sama persis yang pernah aku alami.

"Terus apa respon Amak?" Aku penasaran.

"Ko iyo suruah den ganti baju, pinjam den baju kao lah, baju kao mode iko lai banyak kan? baju den buruak."

Savage banget sih jawaban Amak e.

Dan yang menyuruh Amak ganti baju itu cuman senyum waktu Amak jawab begitu.

***

Di hari yang sama (Amak dan Abak bercerita) aku juga mengalami ketidaknyamanan oleh yang dirasakan oleh mereka atas komentar-komentar itu.

"Apa motivasi kamu pakai masker ini?"

Aku tertegun. Maskerku jelek dipikir mungkin. 

Masker itu hasil daur ulang kain perca yang dibuat oleh Amak. Warnanya mungkin memang norak untuk masker tapi ya begitulah aku dalam kondisi mendadak harus menggunakan masker itu alias masker yang lain pada gak tahu dimana letaknya.

Mungkin ini terdengar sangat menyedihkan tapi kami bukanlah dari orang yang berada. Pakaian bahkan mungkin penampilan kami yang tidak sedap dimata.

Aku merasakan "insecure" itu sejak dulu, dari mulai wajah, badan, pakaian, aksesoris dan lain sebagainya.

Terkadang kita tidak bisa selamat dari rasa tersakiti maupun dari menyakiti orang lain. Seberapa keras usaha kita untuk tidak sampai hal itu terjadi tetap hal itu terjadi baik disadari maupun tidak disadari. 

Lalu, bagaimana?

Apakah kita harus tebal telinga dan pura-pura bodoh jika insecure itu terjadi?

Jawabannya adalah tanyakan pada hatimu. Jika itu hanya menjadi racun untukmu maka seni bodo amat diperlukan. Ingat, diperlukan bukan berarti selalu.

Kenapa "Seni"? Karena begitulah hidup. Pandai-pandai.

***

Kesimpulannya kenapa aku membuat tulisan ini karena rasanya berkesinambungan apa yang terjadi padaku hari ini dengan cerita Abak dan Amak.

Aku merasa topik hari ini adalah "Insecurity"

Dibawa kembali diri ini bahwa hal itu bukan hanya terjadi padaku tapi juga pada orang terdekat dan tersayang sekalipun yang kukira mereka bahkan tidak peduli atau tidak pernah merasakannya sekalipun.

Dear Diary, jadilah ini nasehat kembali. Semoga di masa depan aku selalu ingat cerita ini sebagai penasihat.

Bye


- 2 Desember 2021 - 


Komentar

Postingan Populer