Aku Ingin Menikah (2)

 Aku melamun di mobil dalam perjalanan ke rumah Dewi. Kami sepakat menyelesaikan project keuangan yakni, mengimpor transaksi manual ke aplikasi yang bernama Zoho.


Mungkin akan terdengar berlebihan tapi dengan keputusan yang pasti akan memakan biaya ini harus memberikan has worth it. Itulah yang menjadi bebanku.

Maka untuk menghindari overthinking terkait itu (sembari menunggu sampai di tempat tujuan) aku akan menulis terkait lanjutan series "Aku Ingin Menikah".


***

Sebenarnya aku sudah ingin menulis hal ini pada saat akhir Juli 2021. Tepat hari di mana Lasmi menikah.


Aku menghadiri undangan Lasmi yang mana dia adalah teman dekat sekaligus berasa punya adik karena dia memanggilku "Kak Mel".

Dan rasa 'aku ingin menikah' pun tentunya muncul lagi.

Di kesempatan itu aku mendapatkan banyak insight dari Nanik yang juga ikut menghadiri pesata tersebut.

Para jomblo curhat dan minta doa agar kami juga bisa menyusul.


Dikeramaian itu, di tengah hiruk pikuk tamu undangan, aku dan Nanik (sudah menikah) melakukan deep talk.

***

Dia menceritakan bagaimana proses taaruf ia dengan suami.

Bagaimana proses pembicaraan dengan keluarga ketika memberitahu akan menikah dan mengenalkan calonnya.

Dan hal yang belum pernah ia ceritakan padaku.

Aku meminta nasehat padanya. Banyak sampai dan aku mengerti tapi aku kesulitan menceritakan detailnya di sini. Haha, aku ingin sekali pembacaku bisa merasakan vibes dan feelingku, apa daya aku belum bisa sepenuhnya menceritakan.

Nanik bilang ketika kita menginginkan sesuatu tunjukkan keseriusan kita, buktikan bahwa kita memang menginginkannya. Rasanya malu jika kita ingin sesuatu (menikah) tapi hanya diam tidak meningkatkan kualitas diri. Lakukan amalan serta ibadah untuk terus dekat sama Allah, agar kita bisa minta apapun dan Allah akan kasih yang terbaik buat kita.


Begitulah kira-kira rangkuman nasehatnya.

Aku terdiam. Sudah sejauh mana inginku, doa dan pembuktian diri bahwa aku memang ingin menikah.


***

Tahu saja tidak cukup untuk menerima semua nasehat itu. Badanku kaku rasanya jika mendengar nasehat diatas.

Apa ibadahku kurang, ya? Mungkin.

Apa doaku kurang kenceng, ya? Mungkin.

Apa aku masih belum meningkatkan kualitas diri, ya? Sangat mungkin.

Rasanya ingin sekali bisa melakukan hal itu sekaligus.

Namun, rasanya tak kuat. Sering melakukan tapi kita belum benar-benar mengunyah dengan baik nasehat itu tetap saja rasanya hampa. 

Ego diri pun muncul. Rasanya aku sudah melakukan hal itu.

Aku pun denial. Tidak bisa langsung mentah-mentah menerima nasehat itu. Sudah klasik. Banyak yang bilang begitu.

Dan sebagainya...

Sampai pada satu titik aku benar-benar lelah. Mau sampai kapan aku lari? Rasanya bahkan semakin hampa jika aku tidak memperbaiki diri.

Nasehat itu yang semakin terdengar pahit pelan-pelan aku rajut. Hal kecil yang biasa aku abai, coba dilakukan. Demi perbaikan diri. Menyibukkan diri hanya untuk pemantasan dan penantian.

Maha Benar Allah dengan segala firman-Nya. Saat hati mau membuka dan mau mengerti maka kalimat dalam alqur'an, "jadikan sholat dan sabar sebagai penolongmu...."


Jikan bukan sabar jalan terakhir, aku tidak tahu bagaimana menjaga kewarasan selama masa penantian ini.


-Dalam perjalanan menuju rumah Dewi alias Ani-

Komentar

Postingan Populer