Berdamai dengan diri sendiri


Pernahkah kamu merasakan kecemasan yang amat sangat sehingga kamu merasakan kegelisahan?

Mencemaskan banyak hal yang belum tentu terjadi. Mengkhawatirkan pendapat orang lain terhadap diri sendiri.

Bahkan bisa sampai pada rasa tidak nyaman bertemu dengan orang lain. Karena adanya perubahan diri yang bisa saja nanti teman atau sahabat menilai dari sisi negatif diri.

***

Aku mengalami ketidaknyamanan itu semenjak lulus dari SMK tahun 2012.
Perubahan pada diriku sangat banyak sekali.

Di sekolah menengah dulu aku dikenal orang yang kurus (ya tidak kurus-kurus banget lah), serta mempunyai kulit yang cukup mulus meski warnanya rada gelap alias sawo matang.

Ya, mungkin kamu sudah mulai menebak apa yang terjadi.

***

Aku mulai memasuki dunia kerja setelah seminggu melaksanakan UN. Lumayan termasuk yang cepat juga sih.

Dan dunia kerja beda banget tentunya dengan dunia pendidikan. Jadi gak harus bergelut dengan buku paket. Tidak mengerjakan pe er dipagi hari dan tak perlu seharian melototin papan tulis serta mendengarkan pelajaran. 


Memasuki dunia kerja seakan semua rutinitas yang bisa mengeluarkan energi itu semakin berkurang intesitasnya. Lebih banyak duduk dan ngemil, lalu pulang, dan tidur. Besoknya kerja lagi dengan rutinitas yang sama.

Sehingga banyak lemak yang menumpuk. Berat badan semakin bertambah. Jajanan semakin sembarangan. Sifat sayang kalau dibuang makanan pun muncul. Alhasil, badan sudah tak terkendalikan lagi. 

***

"Eh, kok kamu gendutan, ya?"
Salah satu komentar teman ketika bertemu dengan teman di sekolah menengah dulu. Dia berkomentar begitu, mungkin melihat pipiku yang sudah mulai chubby. Aku tersenyum simpul.

Tak hanya itu, perubahan di tubuhku semakin menjadi.

Aku mulai jerawatan. Dan parahnya aku tidak pernah menyiapkan hal ini. Bahkan baru tahu apa itu jerawat sepertinya pada saat itu.

Jelas, akhirnya aku tidak tahu cara menangani jerawat dengan baik. Dan kasus itu terus menerus terjadi. Penyakit tahunan yang sampai sekarang masih sulit untuk disembuhkan.

***

Komentar wajahku makin rusak lah, makin bersemi aja lah wajahnya, terus juga komentar gendutan yang tak henti-hentinya dialamatkan padaku ketika bertemu dengan lama.

Aku benci pada mereka. Tidak ingin bertemu dengan mereka apapun alasanya. Begitu pikirku. Rasanya jika pun aku harus datang menemui mereka hanyalah alasan "kangen" yang klise sekali. Aku menahan dendam dalam diriku. Mereka masuk dalam blacklist kehidupanku. Orang-orang yang pernah berkomentar negatif terhadap diriku. Body shaming namanya.

Aku mengalami ketidaknyamanan itu, hingga sering saja selepas pertemuan aku biasanya menangis di jalan sambil mengendarai motor. Mengingat komentar mereka terhadap badanku terutama wajah yang jerawat masih betah hinggap di wajah.

***

Aku bukannya membenci mereka. 

Aku juga membenci diriku. Memarahi wajah yang tak pernah mau mengikuti kata hati. Pikiran yang masih terus saja mengkhawatirkan diri dan omongan orang lain.

Bahkan aku pernah mengalami ketakutan dalam melihat diri di cermin. Aku seperti monster saja. Rasanya ingin memecahkan cermin tersebut.

Juga mengalami di titik paling lemah sekali.


Bunuh diri.


***

Masih sulit untuk bisa berlapang dada dengan apa yang orang lain komentarkan tentang diriku. Menyuruhku pakai obat wajah inilah, itulah, menyalahkan juga pun pernah, dibilang suka gonta ganti make-up lah. Pokoknya yang benar-benar menusuk jiwa.

Makin benci dengan diri sendiri. Kenapa aku jadi menzolimi diri?

Bukannya makin sembuh, wajah ini semakin parah karena stress berat yang dialami. Seperti sudah komplikasi saja. Aku tidak tahu harus bagaimana.


***

Oh itu mungkin hanya terkait penampilan saja. Tidak begitu pengaruh dengan kehidupan. Life is go on

Namun, semua benar-benar seakan berakhir ketika aku melamar kerja dan tidak diterima karena perihal wajahku, alasannya takut nanti aku dihina oleh anak muridnya jika sedang mengajar.

Aku masih saja polos bertanya saat wawancara kerja itu, "oh, jadi kalau misalnya saya tidak jerawatan diterima?"

Perempuan yang mewawancaraiku hanya tersenyum dan mengatakan, "sembuhkan dulu wajahnya, ya."

Aku balik senyum. Tetapi, dalam perjalanan pulang aku menangis sejadi-jadinya. Mungkin terhambat suara kaca helm dan ributnya kendaraan di jalan yang melaju, suara tangisku tak begitu terdengar. Namun, aku yakin seyakinnya, Allah Maha Mendengar, semua tangis dan rasa kekecewaanku itu.

***

Setiap manusia mengalami ujiannya masing-masing. Dan ujian dari diriku adalah bagaimana bisa berdamai dengan diri sendiri. 

Jerawat ini tidak muncul dengan sendirinya. Pasti dikarenakan pola hidupku yang tidak sehat dan sebagainya. Apalagi aku sudah sampai pada tahap mental illness. Penyakit mental yang sudah ketakutan sendiri ketemu teman lama. Aku bahkan tidak pernah mengikuti acara 'bukber' alumni kelas sekolah menengah dulu sekalipun hingga tulisan ini dibuat.

Komentar-komentar negatif yang pernah dialamatkan membuatku sudah pundung duluan.

***
Aku mulai belajar bagaimana cara berdamai dengan diri sendiri. Segala nasehat tentang wajah, mulai dari pakai obat ini itu, sampai solusi gila pun pernah diberikan, juga solusi yang bikin kejombloan ini merintih.

Menikah.

Mereka bilang solusi terbaikku cuman itu.

***

Aku mulai mengenal postingan dr. Zaidul Akbar yang mengkampanyekan pola hidup sehat ala Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salam, terutama soal makanan. Apa yang masuk ke mulut akan mempengauhi perilaku dan segala segi kehidupan. 

Dan apa yang dimakan akan menampakkan pada tubuh si pemiliknya.

Aku merasa tertampar. Meski sebelumnya teman-teman sering bilang karena jajan sembarangan, masih saja belum bisa menerima penjelasannya.

Dan dr. Zaidul Akbar menjelaskan dengan sangat rinci, logic dan runut sekali. Dari segi keislaman dan juga dunia kesehatan yang membuka pikiran dan hatiku ini.

Selama ini aku terus merutuki diri. Membenci dengan wajah ini, padahal aku yang tidak bisa menahan makanan yang tidak sehat masuk ke dalam mulut.

***

Bismillah.

Aku mulai ikhtiar. Berdamai dengan diri sendiri. 

Dan dunia yang selama ini terasa begitu toxic bagiku. Hiruk pikuk. Perlahan terasa damai dan menenangkan.

Lelah harus terus mengeluh. Membenci mereka tak ada guna bahkan merugi.

Maka, aku perlahan membuat minuman herbal. Seperti jeruk nipis peras yang ditambah madu. Dikonsumsi sebelum memakan apapun. Juga minum minyak zaitun (walau akhir-akhir ini juga sudah mulai jarang). Banyak makan buah. Juga mengurangi gorengan (mengurangi tapi kadang juga tergoda). Juga membuat air seduhan jahe dan kunyit yang bagus untuk detox diri.

Aku pernah tak sengaja menguping karena mereka menyebut namaku dalam pembicaraannya. Saat itu sedang bahas tentang penyakin masing-masing. Dan salah seorang dari mereka mengatakan.

"Lalu, bagaimana dengan Melisa?"

"Ya, dia harus detox itu."

Aku berdiam diri sejenak di balik pintu menunggu jeda agar bisa menyiapkan hati. Lebih tepatnya menunggu akhir dari pembicaraan mereka tentang aku.

***

Tidak mudah proses berdamai dengan diri sendiri. Sempat juga beberapa bulan lost dari minuman herbal, balik lagi makan gorengan dan wajahku pun menunjukkan hasil perbuatan.

Dan balik dikomentarin lagi.

***

Berdamai dengan diri sendiri itu memang tidak mudah, tapi itu lebih baik dari pada terus mengeluh.

Aku menjadi lebih damai dengan kehidupan sekitar yang sebelum terasa sumpek dan sesak. Tidak ada semangat hidup.

Oh ya, apakah pola minum herbal itu ada pengaruhnya pada wajahku?

Tidak langsung total berubah memang, karena semua butuh proses dan lagi herbal itu tidak instan ia akan secara alami memberikan hasil. Aku berharap bisa segera sembuh dengan penyakit ini.

Semoga kedamaian dalam hidup bisa terud dirasakan. Terutaman damai dengan diri sendiri dan orang sekitar (komentarnya).


*Based On True Story
(Rencana mau dijadikan buku nantinya :) Doain ya)


#30DWC #30DWCJilid23 #Day22




Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer