Someone In Paris #18

#Episode 18  (Kamu dulu deh)

Hujan sudah mulai reda. Hari pun perlahan menuju siang. Tetapi, suasana seperti baru pagi saja.
Anindya sudah selesai membersihkan diri. Ia segera melihat layar ponsel nya. Benarkah ia sudah saling telpon dengan Syam?

Terlihat ada pesan masuk di chat.

Ternyata nomor yang belum disimpan telah mengirim foto.
Itu foto Syam sedang duduk di ruang tamu serta ayah dan Ibu Anindya yang juga ikutan foto dari jarak jauh. Pose Ayah dan ibu sedang bersiap ingin sarapan.

Ada pesan di foto tersebut.

Kamu cuci mukanya lama sekali?
Aku sudah mulai lapar. Ayo sarapan

Anindya melirik jam dinding di kamarnya. Ini sudah jam sembilan lebih 30 menit.

Ia segera berlari menuju pintu kamar dan ketika sudah memegang kenop pintu, ia kembali bercermin merapikan jilbabnya dan latihan senyum.

***
Pertemuan setelah bertahun-tahun berpisah itu membuta degup jantung Anindya berdetak sangat cepat. Berharap ia tidak salah tingkah.

Saat mereka akan saling sapa karena mulut sudah mulai terbuka ayah dan ibu langsung menyalip perbincangan mereka yang masih diujung lidah itu.

"Ayo, kita sarapan dulu."

Selama makan mereka hanya sesekali saling pandang lalu buang muka. Ayah lebih banyak bertanya tentang Syam, sedang Anindya diam-diam menyimak.

"Saya baru dua hari di Pekanbaru, Om, Tante. Dalam rangka liburan juga, sudaha lama tidak mengunjungi makam ibu."

"Ibu kandungmu?" Tanya Ayah
Syam mengangguk.

"Ayah menikah lagi dengan orang Paris. Dan mereka menetap di sana." Mereka bertiga mengangguk-angguk mendengarkan cerita Syam

***
Ketika sudah menyelesaikan sarapan yang tak menyisikan sedikit pun percakapan antara Anindya dan Syam.

"Boleh, saya ajak Anindya jalan-jalan keluar, Om?"Tanya lelaki blasteran itu yang sudah lima belas menit berlalu berbincang dengan ayah sedang Anin dan Ibu berberes di dapur.

"Mau jalan kemana?"

Syam tampak berpikir, "Yaa..keliling kota Pekanbaru aja, sudah lama."

***

Mereka pun pergi dengan menggunakan mobil Syam. Mereka bertiga di mobil bersama Pak Supir. Tetapi, Syam duduk di samping Anindya.

"Biar enak ngobrolnya." Jawab Syam melihat guratan wajah kaget di wajah gadis bermata belok itu.
"

Dan percapakan itu pun dimulai.

"Kamu berapa hari rencananya di Pekanbaru?" Anindya memulai pembicaraan ketika sudah jalan 2 menit dan mereka hanya diam.

Syam tersenyum sebelum menjawab, "uhmm...belum tau, sampai urusan di sini selesai."

"Memangnya ada masalah, ya?"

Syam hanya mengangguk sekali.

Anindya kembali diam dan mencari topik apalagi yang akan dibicarakan. Seakan sudah kehabisan kata.

"Aku sudah baca semua pesanmu dan menerima paketmu. Tapi, aku baru menerima semuanya sebulan yang lalu. maaf, ya..."

Anindya menoleh dengan ekspresi bingung tidak harus berkata apa. Sedih karena baru diterima sebulan yang lalu yang hampir saja sudah setahun berlalu surat itu dikirim pertama kali. Senang akhirnya sampai dan diterima dengan orang yang dituju.

"Selamat?" Maksudnya paketnya aman semua tidak.

Syam mengangguk sekali, "Paket semua sudah kupakai. kecuali resep bakso. Aku tidak bisa mengeksekusinya, haha."

Anindya ikut tertawa kecil.

Mereka kembali terdiam. Anindya tidak ingin suasana sepi ini

"KAMU!"
Dan mereka pun serentak bicara.

"Kamu dulu deh," potong Syam cepat

"Kamu gak heran kenapa aku bisa tahu alamatmu di Paris?"

Anindya tidak menuliskan di surat tentang ia tahu alamat itu. Ia hanya bercerita tentang hari-harinya ketika di SMA dulu yang belum sempat ia katakan pada Syam kecuali perasaan. Juga aktivitas ia setelah selesai kuliah. Ia hanya bilang bahwa tiba-tiba ingin menuliskan surat karena beberapa waktu lalu bertemu dengan Abdul dan Fatih di Cafe.

"Diary, kan?" Jawab Syam yakin.

"Iya." Anindya tersenyum. Syam seorang penyuka misteri pasti sudah bisa menebaknya.

"Kamu gak heran kenapa aku baru menerima semua paketmu selama sebulan?" Syam balik tanya.

"Karena kamu pindah?" Tebak Anindya.

"Uhmm..itu benar. Tapi, coba tebak lagi Mae, kenapa aku pindah dan masih bisa menerima paketmu?"

Anindya tampak berpikir sejenak, "karena kamu tiba-tiba berkunjung?"

Syam terkekeh mendengar jawaban itu.

"Paketmu tidak pernah sampai di rumah itu." Syam tampak serius mengawali sebab paket itu.

"Lalu?"

"Salah seorang temanku bekerja di ekspedisi. Suatu hari aku memintanya untuk mengecek kiriman paketku. Lalu, dia bertanya apakah aku mengenal pengirim yang atas nama kamu yang ditujukan padaku. Tetapi alamatnya rumah lamaku. Jadinya paket itu tertumpuk di kantornya karena tidak ada yang menerima," Anindya refleks menutup mulutnya.

"Makanya paketnya baru sampai padaku sebulan yang lalu. Eh, apa kamu ada kirim paket lagi? Aku baru terima 10."

Anindya menggeleng pelan. Tidak ada lagi, dia sudah berhenti mengirim surat ketika ia putuskan jika kiriman ke sepuluh tidak juga ada balasan atau setidaknya mengetahui paket itu sampai dengan selamat.

"Makanya aku putuskan ke Pekanbaru untuk menanyakan pada pengirimnya langsung mana tahu ada salah kirim alamat, haha," lelaki blasteran Paris itu tertawa terbahak-bahak.

Gadis bertubuh mungil itu meraih boneka kecil di sampingnya lalu memukulkannya pada Syam, sampai-sampai lelaki itu terdiam dengan masih ada sisa-sisa tetawanya.

"Gak lucu." Tapi gadis itu sebenarnya senang.

"Aku serius, jauh-jauh ke sini untuk itu--"

"Katanya karena mengujungi makam ibumu?"

"Tentu itu yang utama, setelah itu urusan denganmu."

"Sekarang sudah tahu jawabannya, berarti urusanmu sudah selesai?"

Syam hanya tersenyum. Tidak menjawab.

"Kenapa diam?"

"Belum. Masih ada lagi."

"Tanya aja, biar kamu tidak penasaran."

"Besok akan aku tanya."

Dan mobil melaju kencang. Perjalanan mengelilingi kota Pekanbaru hari itu terasa spesial bagi Anindya, mungkin juga untuk Syam. Gadis itu tidak begitu yakin.

Bersambung...

#30DWC #30DWCJilid23 #Day19

Komentar

Postingan Populer