Aku Lelah #4

Ini adalah hari yang berat.
Haha, aku selalu menceritakan hal yang tak menyenangkan ya di blog ini?
Maaf, tapi memang dipikiranku begitu dilingkupi pikiran negatif. Padahal sesungguhnya aku ingin senang sekali.

***
Hari ini pesananku datang. Sebuah lukisan di akrilik yang aku pesan beberapa hari yang lalu. Aku memeluk benda itu ketika sudah sampai. Tidak kutunjukkan pada siapapun. Sebelum hari H itu tiba aku belum mau menujukkannya pada keluargaku. Rasanya aku ingin menjadi isa yang tidak biasanya. Impulsif sekali.

Aku seperti membiarkan diriku semakin liar saja. Mungkin amak tidak senang menerima hadiahku nantinya. Secara mending beli beras, makanan atau keperluan dapur lainnya. Hanya saja jika aku memberi itu akan habis tak bersisa. Tidak berbekas. Jika aku beli baju, amak lebih sering tidak sesuai seleraku. Pun, aku juga ingin hadiah yang tidak terlalu mahal.

Aku beli begitu saja hadiah lukisan akrilik itu. Sembari memikirkan lagi, pisang goreng keju kesukaan amak. Mungkin bisa teimbangi.

Aku juga sempat khawatir, bagaimana kalau amak nanti menjadi menebak-nebak.
Aku kenapa bisa mesan beginian? Masih ada uangnya?

Sebenarnya masih saat itu, kalau tidak ada mana mungkin aku berani memesan.

Aku tahu itu bukan hal yang bisa dikatakan urgensi, hanya saja. Di moment hari ibu-yang kebanyakan orang setuju hari ibu itu adalah setiap hari-ini aku ingin memberi bekas yang berbeda. Tidak apa-apa jika amak nantinya malah kelihatan tidak senang hadiah yang aku beri.

Yang penting aku sudah memberikan hal yang aku inginkan, pilihkan dan berharap sudah sampai ke tangan.

***

Aku ingin membahagiakan amak dengan caraku. Tidak ingin didikte terus. Bisa melakukan hal yang ingin kulakukan tanpa campur tangan orang lain.

Semoga perasaan itu sampai.

***

Sepertinya memang lelah menunggu itu. Yang seharusnya abak sudah pergi ke kampung jadwalnya dari sore tadi sampai malam ini belum pergi juga karena orang yang diajak pergi bareng itu masih dalam perjalanan Duri ke Pekanbaru. Janjinya siang mulai jalan, nyatanya ketika aku sampai di rumah dari perjalanan pulang kerja, abak belum juga berangkat.

"Meleset dari rencana," itu kata abak. Walau terdengar pelan tapi bagi yang sudah kenal abak itu sudah level marah tertinggi.

***

Amak memberitahu agar aku segera bersiap-siap (padahal orang yang ditunggu belum juga sampai) akan mengantarkan abak ke terminal.

Sebenarnya aku malas. Sudah capek ingin istirahat dari keluar rumah. Tapi, ini karena bersinggungan langsung dengan abak, aku tidak berani menolak. Bisa-bisa kalau aku lambat siap-siap menambah masalah baru.

Akhirnya, aku pun mengambil jaket abu-abu lalu jilbab coklat. Mengambil kaus kaki yang dirasa masih bersih (kaus kaki siang tadi).

***

Aku pun menunggu di kamar. Dengan kondisi mata yang sudah mulai sepet.

Ponakan yang sedang mengalami kesulitan pun berusaha aku tolong. Tidak tega karena ini menyangkut kuliah alias masa depannya.

***
Misi menolong ponakan pun selesai. Dan aku dengan pakaian lengkap (siap pergi mengantar abak) pun merebahkan diri di lantai. Sebenarnya aku sudah sangat mengantuk.

Dalam keadaan memejamkan mata dan telinga masih mendengar suara sekitar. Abak pun masuk ke kamarku dengan nada lembut.

"Sa, tuliskan ini tambahan namanya, lah." Aku dengar tapi diam saja, berusaha memberitahu aku sudah tidur. Tapi, uni membantu memanggilku.

Aku pun duduk dan berusaha sadar sepenuhnya.

Abak pun memberi instruksi untuk menuliskan dua nama lagi yang belum ditulis. Aku memperhatikan dengan seksama. Sampai malah memastikan seperti apa namanya.

Lalu, aku pun mulai menulis sesuai arahan dari abak. Tapi, apa yang terjadi.

"Oi, kok di situ, ajak bercarut-carut namanya ni." (abak dalam logat minangnya)

"Kan, abak nunjuknya disini tadi, kan?" Aku berusaha membela diri.

"Mana disitu? Diatas itu?" Aku mengernyitkan dahi. Bagaimana bisa? Jelas-jelas tadi nunjuknya disitu.

"Robek aja lagi kertasnya."
Aku masih diam mengingat siapa yang sebenarnya salah.

Tapi, tanpa basa-basi abak segera merobek kertas itu dan berlalu pergi. Aku pun terdiam. Aku juga ikut marah. Rasanya sudah sampai diubun-ubun. Aku kesal dan berusaha menahan tangis.

Tapi, sumpah serapah abak membuat hatiku meringis. Abak tahu betul titik lemah anak-anaknya. Aku paling tidak suka dibilang, "percuma sekolah," itu kalimat yang membuatku tidak senang. Beberapa kali abak memarahiku dengan kalimat itu jika aku melakukan kesalahan, walau sekecil apa pun itu, sesepele apa pun itu.

Pertama aku diam. Menahan tangis. Tapi, kalimat itu terus terdengar. Aku pun mengingat kembali. Perjuangan bisa kuliah. Bagaimana abak dulu pernah mengatakan, ia tak akan membiayai kuliahku. Jika aku ingin kuliah maka harus mengusahakannya sendiri.

Dan apa yang terjadi. Salah menuliskan posisi nama (menurut abak aku salah) membuatnya sudah mengungkit percuma di sekolahkan, percuma aku kuliah tinggi-tinggi.

Itu, merupakan titik tersedihku.

Aku juga ikutan marah. Aku hempaskan pintu, kunci dengan kuat. Menunjukkan, "aku juga bisa marah, lho."

Aku pun mengatakan hal yang dulu jika aku dimarahi tidak pernah berani mengatakannya secara lantang. Kali ini, aku meneriakkannya.

"Abak jahat. Aku sudah capek-capek kerja kuliah, gaji yang kecil, nahan-nahan selera, untuk bisa kuliah, dibilang percuma sekolah? Abak jahat. Aku marah sama abak."

Mungkin seumur hidup aku baru bisa seberani itu mengungkapkan kemarahan dan kekecewaanku.
Saudara-saudaraku lainnya terutama kakak-kakakku tak seberani aku.

Aku hanya lelah. Ingin bisa langsung memberitahu perasaan, emosiku pada abak.

Ia tak boleh bilang begitu. Kenapa selalu mengatakan hal yang tak aku suka. Itu membuatku sedih.

Pada akhirnya, air mataku jatuh juga.

***

Durhaka?

Sebaiknya aku tidak melawan abak. Bisa jadi anak durhaka nanti.

Aku tahu. Tapi, saat itu aku seperti anak kecil kembali. Yang sedang marah pada ayahnya. Seorang yang anak kecil ketika dilarang atau dimarahi orang tuanya ia meluapkan perasaannya dan mengatakan hal yang membuatnya sedih.

Persis. Kala itu inner child aku hadir.

Memori tentang kasih sayan abak yang begitu kaku hadir.

Juga perasaan iri kepada sahabatku yang punya ayah begitu perhatian. Yang mampu mengatakan hal manis pada anaknya. Yang tak mengeluh ketika direpotkan anaknya.

Aku?
Yang ketika itu baru rehat dari abis kecelakaan, sehari diantar ke sekolah besoknya tidak lagi, aku bisa sendiri.

***

Memori lainnya pun hadir. Membuatku semakin marah dan menangis. Aku meraung-raung. Dipikiranku saat itu adalah aku anak kecil yang tengah terluka. Isa kecil hadir, tolong dengarkan rintihanku.

***

Aku capek. Semua hal yang membuatku cemas hadir.

Apa balasan aku marah pada abak adalah jodoh yang belum datang?

Aku tahu dari amak, abak sudah tidak peduli dengan siapa aku akan menikah. Tidak ada selera lagi mencarikan aku jodoh. Aku pemilih. Maka dibebaskan saja. Cari sendiri.

Aku tahu dan berusaha mengerti akan hal itu.
Tapi, ketegangan yang terjadi akibat menuliskan sebuah nama untuk "panggilan baralek" menjadi menyedihkan.

Aku marah pada abak. Inginnya abak tahu dan tak egois lagi.

Semenjak hal ini terjadi, rasanya aku tidak ingin bicara dengan abak dulu. Aku marah dan sekarang masih marah.

- 21 Desember 2020 -
Menuju hari-hari menyenangkan dengan melewati begitu banyak hal menyedihkan :')
 

(pada akhirnya abak jadi pulkam. Masuk ke kamarku dengan pakaian lengkap dan tas yang disandangnya.  Seperti biasa, ia memanggilku dengan lembut, "Sa, apa pergi dulu, ya."

Aku hanya mengangguk dua kali, tidak mau menatap. Abak mendekat dan mengacungkan tangannya. Aku menyambut tangan itu sembari lirih mengucapkan, "hati-hati."

Mungkin abak merasa bersalah, secara dari cerita uni membenarkan bahwa abaklah yang salah liat karena tidak pakai kacamata -- kasus salah menulis posisi nama.

Semoga marahku segera mereda, seiring luruhnya perjalanan roda berputar di aspal.

Hati-hati dijalan abak.)

Komentar

Postingan Populer