Aku lelah #1

 Aku lelah. Pura-pura bahagia itu ternyata melelahkan. Sebenarnya sama sekali tidak mengerti apa yang sedang terjadi padaku. Pikiran ini penuh. Semua hal bercampur baur menjadi satu, sampai-sampai membuatku tidak tahu sebenarnya aku ini kenapa?

***

Patah hati.

Kelalaian dalam menjaga amanah.

Bingung menghadapi diri sendiri. Ingin cerita tapi khawatir akan disalahkan. 

Keluarga sedang membutuhkanku. Biaya bulanan rumah masih berpusat padaku.

Apakah aku ingin berhenti?

Sungguh, aku masih ingin berada di sana. Terlepas dari banyak hal yang juga tidak menyenangkan, tetapi setidaknya aku berusaha ingin bertahan. Namun, dengan adanya masalah keuangan ini membuatku meragu. Apakah aku benar-benar amanah dalam pekerjaan tersebut? Ternyata aku bukan orang yang tepat menjalan posisi itu. Dan pikiran negatif lainnya.

Aku sudah men-sounding Dede (nama disamarkan). 

"Aku masih ada masalah yang belum kuceritakan padamu." Kataku dengan nada lemah.

"Apa masih ada? Lebih berat dari sebelumnya?" Aku mengangguk, "ku kira itu udah semua." Katanya berusaha meyakinkan.

"Belum," kataku sembari tersenyum pahit, "itu baru kulitnya."

Dia terkejut mendengar aku mengatakan hal itu.

***

Aku masih belum bisa menceritakan permasalahanku pada siapa pun.

Semua masalah itu terjalin menjadi sebuah jalinan kesedihan yang tidak bisa lagi kujelaskan satu-satu selain air mata yang mengalir.

Target menikah.

Salah menaruh perasaan.

Lalai dalam bekerja.

Tidak bisa berbakti sepenuhnya pada orang tua.

Badan yang semakin gendut akibat makan tak keruan.

Usia yang semakin bertambah tapi pikiran yang dipertanyakan kedewasaannnya, kebijakannya.

Ibadah yang semakin menurun.

Insecure dengan penampilan yang mana jerawat tetap menetap bahkan sudah bertahun-tahun waktu berlalu.

Apakah aku putus asa?

Allah, aku berharap tidak sama sekali. Tetapi, aku sedang tidak baik-baik saja.

Aku lemah, lelah, tertatih.

Ya aku tahu. Aku harus segera keluar dari terowongan gelap ini. Walau meski kaki berat, walau meski hatiku terluka. Walau akhirnya aku hanya sendiri berjalan.

Allah, aku tidak ingin berjuang sendiri. Temani aku dalam kesendirian ini. Jangan biarkan aku sendiri di Bumi ini. 

***

Quarter Life Crisis.

Sepertinya aku berada di titik ini. Krisis kepercayaan diri, body shaming, pekerjaan yang banyak tidak terselesaikan, belum lagi marah-marah dengan keluarga akibat keletihan itu semua.

Senyum?

Aku bahkan tidak sanggup untuk tersenyum. Mengangkat bibir ini untuk membentuk sebuah simpul rasanya berat sekali. Biarkan saja apa adanya. 

Orang tidak senang memandangku?

Ya, aku minta maaf soal itu. Sulit bagiku saat ini menyembunyikan perasaan, menutupnya dengan wajah pura-pura penuh kebahagiaan.

Aku lelah, lelah bicara, berpikir, pasrah saja. Jika memang itu yang harus aku hadapi, ya aku bisa menghadapinya, sudah lama aku melarikan diri.

Hanya bisa berjalan dengan tatapan kosong.

Bagaimana Ya Allah aku menghadapi hari esok?

Bersambung...

Curhatan ini bersambung dengan perasaan random berikutnya.

(Jeda karena sudah maghrib)

- 5 Desember 2020 -

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer