Someone In Paris #1
#Episode 1 (Permulaan Bertemu di Kelas)
Apa kamu pernah jatuh cinta?
Atau apakah kamu sedang mengalaminya sekarang?
Bisa jadi kita sama. Bisa jadi tidak.
Aku sedang mengalaminya. Sejak 5 tahun lalu, ia menyapaku. Membuat duniaku terasa penuh warna. Warna yang mungkin saat itu baru kurasakan di usia remaja. Seakan ada bunga yang akan hadir mekar di sekitarku. Warna yang bisa memberikan keceriaan, warna yang juga memberiku kekhawatiran, warna rindu, warna sedih, dan segala bentuk warna kehidupan.
Tetapi, aku tidak pacaran, kok. Aku tahu itu tidak baik.
Sejak empat tahun lalu, aku merasakan jantung sedang tak baik-baik saja. Aku jauh lebih murung dari biasanya. Ayah dan Ibu selalu khawatir apakah aku sakit. Tetapi, aku berusaha menyembunyikannya. Mungkin Ayah dan Ibu tahu jawabannya, tetapi tak berani memastikan.
Baiklah, perlahan aku akan menceritakannya.
***
Lima tahun lalu.
Hujan turun sedari shubuh. Aku suka.
Itu berarti hari-hariku akan terasa sendu dan menyejukkan.
"Perkenalkan dirimu."
Seorang siswa baru datang dan berdiri di samping Pak Gunawan, guru matematika.
Seketika seisi kelas terdiam. Aku akui wajahnya sedikit tampan, blasterankah?
Tetapi, aku tidak begitu tertarik, langsung memalingkan wajah ke jendela. Lebih tertarik melihat guratan air hujan di jendela.
Ya, dialah yang beberapa waktu kemudian merubah sistem kehidupanku yang awalnya baik-baik saja, berubah menjadi tidak baik-baik saja.
"Namaku Syam, salam kenal semua."
***
Syam menjadi terkenal bahkan hampir seantero sekolah. Kakak dan adik kelas begitu penasaran dengannya. Kelas kami sering dikunjungi dari siswi kelas lain. Hanya ingin menegur Syam, lelaki berwajah tampan.
Benar-benar bukan pemandangan yang menyenangkan.
Sekilas aku memperhatikan Syam, ia tersenyum ramah, tetapi seketika akan murung kembali.
Hampir seluruh siswi di kelasku menyukai Syam, menurutku. Karena mereka semua mendadak menjadi cantik? berdandan tak biasanya. Berusaha mendekati siswa baru yang tampan itu.
"Anin, yuk ke kantin, lapar."
Kecuali kami berdua. Aku dan Marsha, sama sekali tak bergeming.
"Aku suka kasihan saman anak baru itu." Komentar Marsha saat asyik menyantap mie ayam di kantin.
"Kenapa?" Aku memilih memakan bekal yang dibawah dari rumah.
"Ya...dia kelihatan gak senang gitu, disapa, terus didekatin, pasti gak nyaman. Makanya aku bantuin dia sekarang."
Aku mengernyitkan dahi, "bantuin?"
"Ya." Jawab Marsha tegas, dan menarikku untuk lebih dekat dengannya, lalu berbisik, "dengan tidak mendekatinya, bisa jadi mengurangi bebannya."
Aku terkekeh, jawaban Marsha unik sekali.
Namun, dipikir-pikir lagi benar, kasihan juga dia.
***
Dia tidak seburuk itu.
Sebulan kemudian, dia berbaur dengan yang lain. Senyumnya lebih ramah menurutku, bagaimana mengatakannya? Senyum tanpa beban? Seperti yang pernah Aku dan Marsha perhatikan.
"Dia berubah, An." Kata Marsha saat kami mengerjakan tugas di kelas ketika Pak Gunawan berhalangan hadir dan memberi kami tugas mandiri.
"Siapa?" Aku berusaha fokus mengerjakan soal.
"Syam. Dia, seperti bintang sekolah, bukan hanya bintang kelas. Wuah, aku baru ingat, dua hari lagi kan malam prom night, from, pon? Ah, gitulah pokoknya. Dia pasti akan terpilih jadi King, lelaki tertampan."
"Masih ada acara yang begituan?"
"Kamu sih, gak pernah ikutan sejak kelas satu. jadi gak tau gimana serunya."
"Memangnya kamu ikutan tahun lalu?"
"Iya, dong," Marsha dengan percaya diri menjawab dengan agak membusungkan dada, "jaga hidangan," seketika nada suaranya langsung berubah rendah.
Aku terkekeh.
Marsha selalu berhasil membuat suasana begitu menyenangkan dengan candanya yang semanis seperti cookies. Tidak begitu manis, tetapi renyah.
***
Lalu, malam yang seharusnya Syam hadir menurut Marsha dan akan menjadi King, justru hadir di tempat yang berbeda.
Dan itu menjadi moment yang perlahan merubah hidupku.
Bersambung...
(Diary Anin, ketika malam seminggu sebelum sidang dilakukan)
#30DWC #30DWCJilid23 #Day1
Apa kamu pernah jatuh cinta?
Atau apakah kamu sedang mengalaminya sekarang?
Bisa jadi kita sama. Bisa jadi tidak.
Aku sedang mengalaminya. Sejak 5 tahun lalu, ia menyapaku. Membuat duniaku terasa penuh warna. Warna yang mungkin saat itu baru kurasakan di usia remaja. Seakan ada bunga yang akan hadir mekar di sekitarku. Warna yang bisa memberikan keceriaan, warna yang juga memberiku kekhawatiran, warna rindu, warna sedih, dan segala bentuk warna kehidupan.
Tetapi, aku tidak pacaran, kok. Aku tahu itu tidak baik.
Sejak empat tahun lalu, aku merasakan jantung sedang tak baik-baik saja. Aku jauh lebih murung dari biasanya. Ayah dan Ibu selalu khawatir apakah aku sakit. Tetapi, aku berusaha menyembunyikannya. Mungkin Ayah dan Ibu tahu jawabannya, tetapi tak berani memastikan.
Baiklah, perlahan aku akan menceritakannya.
***
Lima tahun lalu.
Hujan turun sedari shubuh. Aku suka.
Itu berarti hari-hariku akan terasa sendu dan menyejukkan.
"Perkenalkan dirimu."
Seorang siswa baru datang dan berdiri di samping Pak Gunawan, guru matematika.
Seketika seisi kelas terdiam. Aku akui wajahnya sedikit tampan, blasterankah?
Tetapi, aku tidak begitu tertarik, langsung memalingkan wajah ke jendela. Lebih tertarik melihat guratan air hujan di jendela.
Ya, dialah yang beberapa waktu kemudian merubah sistem kehidupanku yang awalnya baik-baik saja, berubah menjadi tidak baik-baik saja.
"Namaku Syam, salam kenal semua."
***
Syam menjadi terkenal bahkan hampir seantero sekolah. Kakak dan adik kelas begitu penasaran dengannya. Kelas kami sering dikunjungi dari siswi kelas lain. Hanya ingin menegur Syam, lelaki berwajah tampan.
Benar-benar bukan pemandangan yang menyenangkan.
Sekilas aku memperhatikan Syam, ia tersenyum ramah, tetapi seketika akan murung kembali.
Hampir seluruh siswi di kelasku menyukai Syam, menurutku. Karena mereka semua mendadak menjadi cantik? berdandan tak biasanya. Berusaha mendekati siswa baru yang tampan itu.
"Anin, yuk ke kantin, lapar."
Kecuali kami berdua. Aku dan Marsha, sama sekali tak bergeming.
"Aku suka kasihan saman anak baru itu." Komentar Marsha saat asyik menyantap mie ayam di kantin.
"Kenapa?" Aku memilih memakan bekal yang dibawah dari rumah.
"Ya...dia kelihatan gak senang gitu, disapa, terus didekatin, pasti gak nyaman. Makanya aku bantuin dia sekarang."
Aku mengernyitkan dahi, "bantuin?"
"Ya." Jawab Marsha tegas, dan menarikku untuk lebih dekat dengannya, lalu berbisik, "dengan tidak mendekatinya, bisa jadi mengurangi bebannya."
Aku terkekeh, jawaban Marsha unik sekali.
Namun, dipikir-pikir lagi benar, kasihan juga dia.
***
Dia tidak seburuk itu.
Sebulan kemudian, dia berbaur dengan yang lain. Senyumnya lebih ramah menurutku, bagaimana mengatakannya? Senyum tanpa beban? Seperti yang pernah Aku dan Marsha perhatikan.
"Dia berubah, An." Kata Marsha saat kami mengerjakan tugas di kelas ketika Pak Gunawan berhalangan hadir dan memberi kami tugas mandiri.
"Siapa?" Aku berusaha fokus mengerjakan soal.
"Syam. Dia, seperti bintang sekolah, bukan hanya bintang kelas. Wuah, aku baru ingat, dua hari lagi kan malam prom night, from, pon? Ah, gitulah pokoknya. Dia pasti akan terpilih jadi King, lelaki tertampan."
"Masih ada acara yang begituan?"
"Kamu sih, gak pernah ikutan sejak kelas satu. jadi gak tau gimana serunya."
"Memangnya kamu ikutan tahun lalu?"
"Iya, dong," Marsha dengan percaya diri menjawab dengan agak membusungkan dada, "jaga hidangan," seketika nada suaranya langsung berubah rendah.
Aku terkekeh.
Marsha selalu berhasil membuat suasana begitu menyenangkan dengan candanya yang semanis seperti cookies. Tidak begitu manis, tetapi renyah.
***
Lalu, malam yang seharusnya Syam hadir menurut Marsha dan akan menjadi King, justru hadir di tempat yang berbeda.
Dan itu menjadi moment yang perlahan merubah hidupku.
Bersambung...
(Diary Anin, ketika malam seminggu sebelum sidang dilakukan)
#30DWC #30DWCJilid23 #Day1
Komentar
Posting Komentar