Someone In Paris #3
#Episode 3 (Tertawa bersama pertama dengannya)
Aku masih ingat kejadian itu.
Ketika kami naik kelas 3 dan bertukar tempat duduk.
Aku dan Marsha adalah kali kedua duduk bersama. Dulu waktu kelas satu kami beda tempat duduk.
"Tahun terakhir aku di SMA, mohon bantuannya ya Anin."
Aku tersenyum dan mengangguk. Kami bersalaman.
"Hay, mari kita jadi tetangga yang saling membantu."
Dia Abdul, lelaki berambut agak kriting. Sudah beberapa kali ditegur oleh kepala sekolah, tetapi lolos dari pemotongan rambut.
Menurut cerita yang pernah aku dapat dari Marsha, Abdul menjelaskan ia akan merasakan sakit kepala jika rambutnya dipangkas pendek dan lagi dibilang, ini sunnah, memanjangkan rambut. Alhasil ia memanjangkan rambutnya meski begitu ia merapikannya dengan mengikatnya.
"Jangan menganggu kami dengan rambutmu itu." Marsha bernada mengejek. Aku kaget. Aku menggeleng pada Abdul, bermaksud tidak ikut campur dalam candaan itu.
"Tentu saja, aku sudah menjinakkannya."
Aku lebih kaget lagi waktu itu Marsha dan Abdul tertawa berbahak-bahak. Dan aku jadi ikutan tertawa.
"Aku duduk di sini."
Syam menunjukkan kertas undian tempat duduk. Menaruh tasnya dan langsung duduk dengan tenang.
"Kau harus berkenalan dengan tetangga di belakang mu."
Abdul sedikit menegur Syam. Aku melihat punggung lelaki itu dengan pandangan penasaran. Dia kembali dingin waktu pertama kali pindah ke kelas ini.
"Arrgh, harus duduk di belakang, bagaimana?" Aku, Marsha dan Abdul serentak menoleh ke arah Fatih, sang ketua kelas.
Dia mengipas-ngipas dirinya dan tertegun melihat kami yang mengarah padanya, "A...apa?"
"Hey, kau bukan wanita kenapa mengeluh begitu?" Abdul sedikit menertawainya.
Fatih terlihat tidak senang mendengar kalimat Abdul, ia menunjuk-nunjuk lelaki berambut kriting yang diikat itu seperti gerakan bermaksud aku kasih kamu pelajaran.
"Hey, hey kriting kau bilang tidak akan menganggu, tapi lihat, kau bahkan sudah menganggu tetanggaku." Marsha terkesan membela Fatih.
Marsha mengirim senyum pada Fatih,"Ketua kelas," senyum Marsha seperti bagaimana aku mengatakannya,"mari jangan berisik, terimalah takdir."
Kali ini Fatih terlihat speechless.
Abdul, Marsha, Fatih bahkan aku tertawa. Tidak tahu kenapa, apa selucu itukah percakapan perpindahan tempat duduk itu?
Aku tertawa lepas sekali. Tiba-tiba merasa hidupku seakan penuh warna. Abdul yang begitu berisik di kelas dengan argumen yang kadang terkesan menyeleneh tapi masuk akal. Marsha yang sudah seperti database yang hampir mengetahui hal seluk beluk kelas bahkan issue di sekolah. Fatih yang begitu membawa aura kepemimpinan.
Yang ia kini seperti sedang diuji rasa kepemimpinannya oleh Marsha dan Abdul.
Hanya satu orang yang aneh diantara kami berempat yang tertawa. Syam. Dia hanya diam sesaat, tetapi akhirnya menoleh ke belakang. Aku masih dalam keadaan tertawa tanpa sadar melihat lelaki itu. Dia tersenyum tipis padaku. Benar-benar sangat tipis, matanya sedikit menyipit.
Aku seketika terdiam sejenak.
Dunia terasa terhenti antara aku dan Syam. Sedang Marsha, Abdul dan Fatih masih saling lepas canda.
Aku menunduk karena sedari tadi Syam terus menatapku. Aku berusaha memalingkan wajah ini, ke jendela atau kemanapun. Akhirnya pilihanku menghadap ke bawah meja seakan-akan mencari benda yang jatuh di sana.
Kenapa dia menatapku seperti itu?
"An, kamu kenapa?"
Marsha ikut menunduk ke bawah meja.
Aku menyengir. Kembali menegakkan kepala perlahan sembari merapikan jilbab. Dengan hati-hati aku melihat ke depan apakah lelaki itu masih menatap aneh?
Dan ternyata.
Syam masih melihatku dan seketika tertawa terbahak-bahak. Sampai Abdul, Marsha, Fatih terdiam, juga teman-teman kelas yang masih sibuk memilih undian tempat duduk hening melihat sikap Syam.
Aku?
Membeku.
Apa ada cabe di gigiku?
***
Aku tidak tahu harus berkomentar apa tentang moment itu
Senang?
Bingung?
Aneh?
Kesal?
Semua terasa campur aduk.
Sampai-sampai Marsha bersikap tidak biasanya.
Jika melihat pola gadis itu, biasanya ia akan penasaran akan sikap Syam.
Namun, saat itu Marsha hanya bilang, "An, selamat, kamu berhasil membuatnya tertawa."
"Ha?"
Aku benar-benar terganggu dengannya. Sesekali aku menulis coretan tak jelas di buku, sesekali juga menatap punggungnya. Seperti menanti apakah ia akan menoleh ke belakang lagi.
Posisinya. Aku berada di sisi jendela. Abdul berada di depanku, dan Syam disamping Abdul. Marsha di sampingku sedang diseberang Marsha ada Fatih.
Dan begitulah moment naik kelas yang begitu membekas diingatanku.
***
Saat itu pelajaran Bahasa Indonesia. Kami diminta untuk membentuk kelompok, presentasi dengan tema karya. Mengupas tentang sejarah dan perjalanan sebuah karya itu.
"Satu kelompok minimal 5 orang."
Suara protes pun hadir di kelas.
"Bapak beri waktu dua minggu, lalu presentasi masing-masing anggota."
Ketika Pak Damar keluar dari kelas, kami disibukkan memilih anggota kelompok.
"Cop, Aku bareng kalian."
Abdul begitu semangat karena mengatakannya sambil menghentakkan meja kami.
"Kan aku udah bilang, kri--" Marsha berang.
"Abdul!"
"Iss, kau ni. An, gak usah seanggota dengan si kriting ni--"
"Kalau aku? boleh gabung, kan?" Syam bukan sekedar menoleh tapi ia mengubah posisi duduknya berhadapan dengan Marsha. Seketika Marsha terdiam dan tersipu malu.
"Owh, tentu dong."
Abdul membuka lebar mulutnya, "Diskriminasi."
"Sepertinya kalian kekurangan satu orang, aku siap bergabung dan memimpin kelompok ini."
Fatih sudah berdiri di dekat meja kami dengan percaya diri. Berdiri dengan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana seragam sekolah.
Marsha bertepuk tangan, "perfect." Suaranya setengah berteriak.
"Kalau begitu kita belajar kelompok di rumah siapa?" Tanya Marsha bersemangat.
Abdul mengangkat tangannya dengan semangat, "kita bisa belajar di studioku--"
"Oke, kita putuskan di rumah Syam, bagaimana?"
Syam menoleh padaku, aku mengangkat alis. Syam mengangguk dan tersenyum lalu melihat ke arah Marsha, "boleh."
"Yes." Marsha menepuk tangannya. Fatih berdehem sambil membetulkan kacamata, dan Abdul menatap lesu ke arah Marsha.
Aku menunduk tanpa sadar tersenyum.
Kita akan belajar bersama di rumah Syam.
Dan itu bukan sesuatu yang mudah. Aku lihat waktu itu beberapa siswi di kelas menatap tidak senang ke arah meja kami.
"Kita akan buat bergilir, biar adil."
Fatih mengakhiri percakapan dengan usulan itu. Aku setuju. Abdul lebih dari setuju. Ia berekspresi mengejek ke arah Marsha.
Aku sudah tidak sabar menceritakan moment lucu dan seru selanjutnya saat kami belajar bersama di rumah Syam.
Apa kalian menantikannya?
Bersambung...
(Diary Anin, enam hari sebelum sidang)
#30DWC #30DWCJilid23 #Day3
Aku masih ingat kejadian itu.
Ketika kami naik kelas 3 dan bertukar tempat duduk.
Aku dan Marsha adalah kali kedua duduk bersama. Dulu waktu kelas satu kami beda tempat duduk.
"Tahun terakhir aku di SMA, mohon bantuannya ya Anin."
Aku tersenyum dan mengangguk. Kami bersalaman.
"Hay, mari kita jadi tetangga yang saling membantu."
Dia Abdul, lelaki berambut agak kriting. Sudah beberapa kali ditegur oleh kepala sekolah, tetapi lolos dari pemotongan rambut.
Menurut cerita yang pernah aku dapat dari Marsha, Abdul menjelaskan ia akan merasakan sakit kepala jika rambutnya dipangkas pendek dan lagi dibilang, ini sunnah, memanjangkan rambut. Alhasil ia memanjangkan rambutnya meski begitu ia merapikannya dengan mengikatnya.
"Jangan menganggu kami dengan rambutmu itu." Marsha bernada mengejek. Aku kaget. Aku menggeleng pada Abdul, bermaksud tidak ikut campur dalam candaan itu.
"Tentu saja, aku sudah menjinakkannya."
Aku lebih kaget lagi waktu itu Marsha dan Abdul tertawa berbahak-bahak. Dan aku jadi ikutan tertawa.
"Aku duduk di sini."
Syam menunjukkan kertas undian tempat duduk. Menaruh tasnya dan langsung duduk dengan tenang.
"Kau harus berkenalan dengan tetangga di belakang mu."
Abdul sedikit menegur Syam. Aku melihat punggung lelaki itu dengan pandangan penasaran. Dia kembali dingin waktu pertama kali pindah ke kelas ini.
"Arrgh, harus duduk di belakang, bagaimana?" Aku, Marsha dan Abdul serentak menoleh ke arah Fatih, sang ketua kelas.
Dia mengipas-ngipas dirinya dan tertegun melihat kami yang mengarah padanya, "A...apa?"
"Hey, kau bukan wanita kenapa mengeluh begitu?" Abdul sedikit menertawainya.
Fatih terlihat tidak senang mendengar kalimat Abdul, ia menunjuk-nunjuk lelaki berambut kriting yang diikat itu seperti gerakan bermaksud aku kasih kamu pelajaran.
"Hey, hey kriting kau bilang tidak akan menganggu, tapi lihat, kau bahkan sudah menganggu tetanggaku." Marsha terkesan membela Fatih.
Marsha mengirim senyum pada Fatih,"Ketua kelas," senyum Marsha seperti bagaimana aku mengatakannya,"mari jangan berisik, terimalah takdir."
Kali ini Fatih terlihat speechless.
Abdul, Marsha, Fatih bahkan aku tertawa. Tidak tahu kenapa, apa selucu itukah percakapan perpindahan tempat duduk itu?
Aku tertawa lepas sekali. Tiba-tiba merasa hidupku seakan penuh warna. Abdul yang begitu berisik di kelas dengan argumen yang kadang terkesan menyeleneh tapi masuk akal. Marsha yang sudah seperti database yang hampir mengetahui hal seluk beluk kelas bahkan issue di sekolah. Fatih yang begitu membawa aura kepemimpinan.
Yang ia kini seperti sedang diuji rasa kepemimpinannya oleh Marsha dan Abdul.
Hanya satu orang yang aneh diantara kami berempat yang tertawa. Syam. Dia hanya diam sesaat, tetapi akhirnya menoleh ke belakang. Aku masih dalam keadaan tertawa tanpa sadar melihat lelaki itu. Dia tersenyum tipis padaku. Benar-benar sangat tipis, matanya sedikit menyipit.
Aku seketika terdiam sejenak.
Dunia terasa terhenti antara aku dan Syam. Sedang Marsha, Abdul dan Fatih masih saling lepas canda.
Aku menunduk karena sedari tadi Syam terus menatapku. Aku berusaha memalingkan wajah ini, ke jendela atau kemanapun. Akhirnya pilihanku menghadap ke bawah meja seakan-akan mencari benda yang jatuh di sana.
Kenapa dia menatapku seperti itu?
"An, kamu kenapa?"
Marsha ikut menunduk ke bawah meja.
Aku menyengir. Kembali menegakkan kepala perlahan sembari merapikan jilbab. Dengan hati-hati aku melihat ke depan apakah lelaki itu masih menatap aneh?
Dan ternyata.
Syam masih melihatku dan seketika tertawa terbahak-bahak. Sampai Abdul, Marsha, Fatih terdiam, juga teman-teman kelas yang masih sibuk memilih undian tempat duduk hening melihat sikap Syam.
Aku?
Membeku.
Apa ada cabe di gigiku?
***
Aku tidak tahu harus berkomentar apa tentang moment itu
Senang?
Bingung?
Aneh?
Kesal?
Semua terasa campur aduk.
Sampai-sampai Marsha bersikap tidak biasanya.
Jika melihat pola gadis itu, biasanya ia akan penasaran akan sikap Syam.
Namun, saat itu Marsha hanya bilang, "An, selamat, kamu berhasil membuatnya tertawa."
"Ha?"
Aku benar-benar terganggu dengannya. Sesekali aku menulis coretan tak jelas di buku, sesekali juga menatap punggungnya. Seperti menanti apakah ia akan menoleh ke belakang lagi.
Posisinya. Aku berada di sisi jendela. Abdul berada di depanku, dan Syam disamping Abdul. Marsha di sampingku sedang diseberang Marsha ada Fatih.
Dan begitulah moment naik kelas yang begitu membekas diingatanku.
***
Saat itu pelajaran Bahasa Indonesia. Kami diminta untuk membentuk kelompok, presentasi dengan tema karya. Mengupas tentang sejarah dan perjalanan sebuah karya itu.
"Satu kelompok minimal 5 orang."
Suara protes pun hadir di kelas.
"Bapak beri waktu dua minggu, lalu presentasi masing-masing anggota."
Ketika Pak Damar keluar dari kelas, kami disibukkan memilih anggota kelompok.
"Cop, Aku bareng kalian."
Abdul begitu semangat karena mengatakannya sambil menghentakkan meja kami.
"Kan aku udah bilang, kri--" Marsha berang.
"Abdul!"
"Iss, kau ni. An, gak usah seanggota dengan si kriting ni--"
"Kalau aku? boleh gabung, kan?" Syam bukan sekedar menoleh tapi ia mengubah posisi duduknya berhadapan dengan Marsha. Seketika Marsha terdiam dan tersipu malu.
"Owh, tentu dong."
Abdul membuka lebar mulutnya, "Diskriminasi."
"Sepertinya kalian kekurangan satu orang, aku siap bergabung dan memimpin kelompok ini."
Fatih sudah berdiri di dekat meja kami dengan percaya diri. Berdiri dengan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana seragam sekolah.
Marsha bertepuk tangan, "perfect." Suaranya setengah berteriak.
"Kalau begitu kita belajar kelompok di rumah siapa?" Tanya Marsha bersemangat.
Abdul mengangkat tangannya dengan semangat, "kita bisa belajar di studioku--"
"Oke, kita putuskan di rumah Syam, bagaimana?"
Syam menoleh padaku, aku mengangkat alis. Syam mengangguk dan tersenyum lalu melihat ke arah Marsha, "boleh."
"Yes." Marsha menepuk tangannya. Fatih berdehem sambil membetulkan kacamata, dan Abdul menatap lesu ke arah Marsha.
Aku menunduk tanpa sadar tersenyum.
Kita akan belajar bersama di rumah Syam.
Dan itu bukan sesuatu yang mudah. Aku lihat waktu itu beberapa siswi di kelas menatap tidak senang ke arah meja kami.
"Kita akan buat bergilir, biar adil."
Fatih mengakhiri percakapan dengan usulan itu. Aku setuju. Abdul lebih dari setuju. Ia berekspresi mengejek ke arah Marsha.
Aku sudah tidak sabar menceritakan moment lucu dan seru selanjutnya saat kami belajar bersama di rumah Syam.
Apa kalian menantikannya?
Bersambung...
(Diary Anin, enam hari sebelum sidang)
#30DWC #30DWCJilid23 #Day3
Komentar
Posting Komentar