Dear Diary (10) Iman

Maafkan.

Ya, mari maafkan semuanya.

Maafkan semua keputusan yang sudah diambil di masa lalu, agar bisa fokus menikmati, memperbaiki dan menyiapkan hal terbaik yang ada pada masa sekarang, tanpa terbebani dengan masa lalu.

Maafkan semua yang perrnah terjadi. Yang telah menyakiti dan menggoreskan luka dalam.

Maafkan orang-orang yang pernah bersama namun meninggalkan luka untukmu. Mereka bisa jadi memang tidak memahami dirimu dengan baik sebagaimana Rabb-mu.

Maafkan semua yang pernah berjanji denganmu tapi pernah tak menepatinya. Bukankah kamu pernah juga melakukannya? Maka maafkan, biar hatimu bisa menjadi tenang, dan ibadah kepada Rabb-mu terasa lebih khusyuk.

Maafkan, maafkan, dan maafkan. Karena Allah Maha Pengampun. Kamu perlu untuk belajar sabar dan menangkan dirimu.

***

Iman.

Ya, kamu bisa mengetiknya di google maka pengerti "Iman" akan keluar dari sebuah alamat website. Dan ini tentu kamu harus hati-hati dalam mempelejarinya.

Jika kamu belajar tentang Iman, maka belajarlah bersama gurumu. Itu lebih baik dari pada kamu belajar sendiri.

***

Maksudku kenapa judul dear diary ini "Iman" adalah karena aku sedang melewati bab ini.

Bukan perkara aku tidakk hafal apa itu iman, ada berapa iman itu, apa contohnya, tapi lebih kepada aplikatifnya.

Ya, jika kamu membaca beberapa bab yang ada di dear diary ini maka kamu akan tahu apa yang sedang aku nantikan saat ini. Pasangan.

Aku risau, gelisah, sedih, dan panik karena umur semakin menaik menyentuh angka-angka yang aku tak pernah sangka bisa menyandang usia 29 tahun.

Aku pikir itu usia yang sudah cukup tua untuk menikah. Dari segi kesehatan usia ideal menikah sekian, sekian dan sekian.

Aku risau memikirkan pendapat orang tentang aku yang tidak juga menikah-menikah. Mereka pikir aku apa? Sangat pemilih?

Aku gelisah melihat orang-orang yang bahkan jauh lebih muda dariku sudah menggendong bahkan dua bayi. Aku gelisah sampai menggigit jari.

Aku khawatir orang-orang yang juga single saat ini bersamaku satu per satu pergi karena sudah mempunyai pasangan untuk bergandengan. Dan itu benar terjadi adanya.

Dan aku sendiri lagi.

Aku berpikir begitu liar. Kadang merasa iri, kenapa mereka bisa lebih cepat menemui jodohnya ya?

Apa yang menjadi rahasianya?

Apa yang tidak ada pada diriku hingga saat ini aku masih sendiri?

Begitu banyak pertanyaan-pertanyaan liar yang berputar di kepala ini, yang mana jika aku ceritakan pada orang sekitar yang ada aku dinasehati, "jangan berpikir begitu. Sabar. nanti ada masanya."

***

Benar. Aku harus sabar. 

Kenapa terus membandingan diri dengan orang lain?

Aku tidak tahu masalah apa dibalik kebahagiaan yang mereka tampilkan. Ada begitu banyak tantangan yang tidak mereka bagi saja denganku.

Bisakah aku berhenti untuk tidak iri melihat orang lain dan fokus pada diri sendiri?

Aku pikir sudah melakukannya di beberapa tahun lalu. Lalu, apa yang membuatnya risau kembali.

Usia. Aku seakan lupa bahwa waktu terus berjalan. Merisaukan usia. Panik.

Ayo dong, datang segera.

Sudah terburu-buru kesannya. Selama ini aku kemana saja?

Hatiku tidak tenang. Kalut.

Aku jadi menyalahkan orang-orang di sekitar, terutama diri sendiri. Kenapa dulu tidakku terima saja lamaran laki-laki itu. Kenapa dulu aku terlambat untuk menyadari ini dan itu.

Dan semua penyesalan itu menggoroti diriku.

***

Melihat video pendek di media sosialnya. Sekarang lagi zamannya video pendek. Durasinya bisa 15 - 60 detik. Pokoknya pendek dan padat. Potong-potongan ceramah ustadz juga ada.

Bahkan aku sampai pada potongan cerama- ceramah UAH, UHA, dan UAS.

Suatu ketika ada potonga ceramah UAS.

Beliau bercerita bahwa pernah pergi jauh naik pesawat, dan dia tenang naiknya. Dan yakin akan selamat meski tidak tahu siapa pilot dan co pilotnya. Tak ia ketuk pintu kokpit untuk kemudia menanyakan lisensi pilot yang sedang menerbangkan pesawat tersebut. Kenapa bisa begitu? 

Karena ia percaya. Maka hatinya tenang.

Maka itulah Iman.

Percaya.

Aku tertegun akan tausiyah tersebut. Tahu bahwa yang aku alami adalah bab Iman, tapi mendengar cerita itu menjadi lebih tertegun, bahwa benar, aku...

***

Sebelum sampai pada potongan ceramah itu, aku tahu pe er besar apa yang sedang aku hadapi. Seperti benang kusut, aku masih belum bisa menguraikannya. Dan ceramah itu seperti berusaha menjahit dengan rapi benang-benang pikiraku selama ini.

Iman. Percaya sama Allah.

Bukankah itu rukun iman yang pertama?

Percaya kepada Allah. Iman kepada Allah. Maka hatimu akan tenang.

Jangan takut dengan omongan-omongan orang sekitar yang menambah risau hatimu. Iman. Percaya pada Allah, tak akan dibiarkannya engkau sendiri.

Pegang teguh iman. Hatimu akan tenang. Cukuplah Allah menjadi penolongmu. Iman. Percaya sama Allah.

Allah sedang memintamu untuk terus melayakkan diri. Banyakin sabar. Banyakin sholat. Banyakin doa. Banyakin sedekah. Banyakin bacaan qur'an.

Bukankah Rasulullah bersabar ketika meminta kiblat dipindahkan? Maka percaya.

Allah sedang menyiapkan skenario terbaik untukmu. Siapa dia, dimana, bagaiamana dan kapan?

Cukuplah itu menjadi wilayah Allah. Kuasa Allah.

Tugasku?

Beribadah. Beraktivitas seperti biasanya. Jangan risau. Iman. Percaya kepada Allah karena tugasmu sebenarnya di muka bumi ini adalah beribadah kepada Allah. Taat.

***

Sebenarnya aku juga sempat memikirkan ini. Jika aku menikah nanti apakah bisa lebih dekat dengan Allah?

Aku khawatir malah jadi jauh disibukkan dengan aktivitas rumah yang monoton. Maka dari itu aku pernah mencemaskan hal itu. Apakah itu tanda aku belum siap?


02 April 2023

Malam 12 Ramadhan

My Studio

Komentar

Postingan Populer