Aku Lelah #7

Pada akhirnya aku menyampaikan semua unek-unekku pada mereka.

Beban pekerjaan yang begitu banyak membuat mentalku tidak baik-baik saja.
Tapi memikirkan mereka akan beranggapan bahwa aku ini banyak mengeluhnya juga membuat diri ini gak nyaman. Jadi khawatir aja gitu.

Cuman cari-cari alasan.

Bukan tanpa sebab aku berpikiran begitu karena pernah terjadi sebelumnya. Waktu itu aku menunda laporan dikirim dan selalu meminta waktu. Dan ternyata mungkin beliau kesal dan akhirnya mengatakannya bukan secara pribadi tapi melalui group.

Itu sangat menyesakkan.
Maka atas semua masa lalu yang pernah terjadi aku berusaha berimprov. Melakukan beberapa inovasi, strategi dan meluangkan banyak waktu, tenaga, pikiran bahkan terkadang uang.

Demi tidak ingin lagi terjadi dulu-dulunya. Nyatanya memang banyak hal yang belum aku ketahui, jadi keterbatasan ilmu itu jadi salah satu penyebabnya.

Menangis. Sudah sering. Bahkan aku dilarang baper, cengeng dan sejenisnya.

Rasa ingin melepas posisi ini semakin hari semakin kuat. Walau sebenarnya jauh dilubuk hati, aku menyukai bidang pekerjaan ini. Namun resikonya besar. Selain eror sistem juga eror oleh diriku. Maka dengan perasaan berat aku menyampaikan semua kendala.

Untuk apa aku mempertahankan hal yang bisa jadi aku tidak terlalu berkompeten didalamnya atau bisa jadi tidak cocok dengan apa yang mereka mau.

Melepasnya adalah pilihan yang menurutku baik untuk saat ini.
Aku sudah meminta jawaban terbaik dari Allah.

Dan berkali aku ingin melepas, lalu berdoa, rasanya plong dan malah makin banyak ide yang tumbuh di kepala untuk memperbaiki ini itu.

Lalu aku tersadar oleh sebuah bisikan.

"Kamu gimana sih? Katanya mau berhenti aja, tapi kok malah makin jadi ingin lebih dalam berkontribusi demi kebaikan masa depan?"

"Memangnya ide-ide kamu cocok? Membantu? Jangan-jangan cuman nambah beban dan tak berhasil pula. Sudahlah, kalau kamu memang gak sesuai, lepaskan saja."

"Nanti kamu dianggap gak kompeten. Pertahankan kamu saat ini karena memang gak ada yang mau."

Ya, aku tahu itu semua pikiran overthinking-ku. Dan itu kenyataannya.

***
Aku pernah memikirkan, analogi apa yang cocok dengan kondisiku saat itu.

Maka aku membayangkan sebuah pedang.

Pedang emas, besar, berat tentunya dan tajam.
Lalu aku dipercaya untuk menggunakannya.
Mengayun dan mengayun pedang.

Awalnya diminta membelah apel.
Itu cukup mudah walau agak lucu karena tidak imbang. 
Lalu berganti lebih besar lagi. Semangka.
Ya, masih belum imbang.

Lalu perlahan benda yang harus aku belah semakin besar.

Lalu perlahan aku mulai kerepotan. Aku tidak berhasil menganyunkan pedang untuk membelahnya.

Alih-alih malah mengenai ruangan itu. Benda-benda sekitar yang tak begitu diperlukan yang terbelah. 

Aku mencoba terus menganyunkan dengan kekuatan penuh.

Dan sempat mengabaikan rasa sakit.
Ternyata tanganku sudah mulai berdarah.

Pedang yang begitu kugenggam erat, justru melukai tangan ini.

Ternyata pedang ini sudah tidak cocok lagi untuk kugunakan pada benda-benda dan tantangan yang baru.

Aku ingin melepas pedang itu. Tapi dia begitu melekat pada genggaman.

Lalu, bagaimana aku harus mengambil keputusan?

Tentu saja, melepas pedang itu. Yang sudah berhasil membelah berbagai benda.

Tapi benda-benda yang baru, gagal kutaklukan. Orang-orang yang melihat hanya menilai yang terakhir.

Ternyata aku tidak kompeten.

***

Tapi mengakui ketidakmampuan adalah hal yang sulit.

Kenapa aku begitu sombong? Bisik hati.

Aku tidak perlu sombong dan menghindari kenyataan itu.

Karena yang Maha Kuat, Hebat, dan Kuasa hanya Allah Azza Wa Jalla.

Maka kalau aku memang tidak bisa, maka aku sebaiknya tidak perlu malu.

Yang bisa kulakukan adalah.
Berikhitar semaksimal mungkin, semampu yang aku bisa.
Bertawakkal semaksimal mungkin, pada hal-hal yang aku gak mampu.

Maka itulah yang bisa kulakukan.

Meski sudah menyatakan hal itu, tetap saja itu gak mudah.

Maka mendekat ke Allah adalah jalan terbaik.

Aku gak bisa ngurusin diri ini. Allah yang bisa mengurus semuanya untukku. 

Tugasku hanya taat. Dan ikhtiar semaksimal mungkin yang aku bisa.

***

Buat yang sudah memberikan pelajaran hidup untukku, terima kasih.

Kini aku belajar untuk kuat di tengah kelemahan.


(Idul Adha. 10 Dzulhijjah 1444 H)

Komentar

Postingan Populer