Abak (8)

 Sudah lama tidak updatw cerita tentang Abak.

Saat ini Abak sudah membersamai kami, sejak 11 Januari.

Kondisi perlahan sudah membaik, kecuali kaki abak yang bekas suntikan.

Bengkak dan menjadi luka, jadinya abak tidak bisa leluasa. Harus ngesot ke kamar mandi karena semakin banyak bergerak semakin bengkak.

"Abak udah lama gal liat-liat keluar ya, Ayang." 

"Iya karena abak kaki bengkak tu, Ncu, jadi gak bisa bawa keluar."

Aku melihat wajah abak yang pucat sudah lama tidak disirami matahari jadi khawatir dan berniat ingin mengajak jalan-jalan keluar.

Tapi, aku jadi mengerti setelah merenungkannya.

***

Kondisi jantung abak kemarin setelah kontrol dengan dokter jantung analisanya pompa jantungnya bagus dan masih ada penyumbatan jantung, untuk itulah abak harus minum obat terus.

Abak secara sekilas sudah sehat walau makin kurus. Bahkan sudah bisa modifikais speaker kecil untuk bisa dikonekkan ke speaker besar (kisah ini akan aku ceritakan terpisah).

Juga kemarin sudah memperbaiki bangku tambahan motor untuk anak kecil.

See? Abak sudah mulai aktif.

Lalu aku berfikir, kalau kaki abak tidak bengkak, abak mungkin akan bekerja lagi seperti biasa melupakan sejenak bahwa dirinya tak sekuat dulu padahal sudah berjuang hidup dan mati ketika terkena serangan jantung waktu di icu.

Ya Allah, jika boleh berprasangka, hikmah kenapa kaki abak masih dikasih sakit biar abak gak bergerak aktif dulu karena abak suka kerja dan khawatir bisa capek jadi bia ngefek ke jantungnya.

***

Kami berkumpul di malam hari. Menemani abak yang sedang duduk di ruang tamu, membuang semua kebosanan.

Kemarin malam tangan abak bekas infus waktu pertama kali (sebelum di rs awal bros) berdenyut. Jadi abak minta dibawa ke klinik atau ke igd.

Aku berat membawa abak ke klinik mending ke igd tapi malam itu hujan lebat sekali.

"Badan abak gak panas, sesak gak dadanya?"

Abak menggeleng.

"Kita kompres aja ya, lalu nanti kasih salap."

Abak setuju.

***

Ternyata makin denyut keluh abak. Aku khawatir tapi entah kenapa rasanya malas bawa abak ke igd.

Aku berusaha menghilangkan rasa malas itu.

"Ya udah kita ke igd aja ya, Bak."

"Tunggu dulu, coba urut aja dulu. Denyut sampai ke lengan dan ketiak."

Abak pun minta diurut. Aku merasakan ada bengkak dilengan abak. disitulah aku urut. Abak pun mengiyakan kalau disitu memang sakit.

Lalu, urut pun berlanjut ke bokong abak. Beliau bilang sudah sakit sejak lama.

Aku pun mengurut dan merasakan memang ada sedikit bengkak, tanda darah tidak lancar.

Walau masih pemula di dunia totok punggung aku sedikit paham tentang titik mana yang harus fokus aku urut.

"Alhamdulillah udah gak sakit lagi." Kata abak dengan suara paraunya. Abak kalau bicara denganku dominan bahasa Indonesia padahal sehari-harinya dengan keluarga lain selalu bahasa minang.

"Alhamdulillah." Aku senang bisa membantu menghilangkan sakit abak.

"Udah lama sakitnya, Bak? Sejak kapan?"

"Udah. Abak mau minta tolong ma Isa, tapi isa sibuk jadi segan abak minta tolong."

Kalau boleh nangis aku akan nangis saat itu tapi aku menahannya.

"Maaf ya, Bak, Isa sibuk. Lain kali abak panggil aja Isa."

Beberapa waktu lalu aku juga seakan lupa bahwa abak sakit. Aktivitas aku yang sering menyendiri di kamar kembali tanpa bisa kucegah.

Sesekali aku merasa bersalah dan ingin segera ke kamar abak. Kadang abak sudah tidur atau berusaha untuk tidur.

Dan kadang sudah makan juga sedang mendengar lagu dari speaker.

Aku merasa tidak begitu penting hadir. Asem! Kenapa aku bisa mikir kayak gitu. Astaghfirullah.


***

Malam ini tercium bau rokok dari uda ayang meski sudah duduk di luar.

Aku tiba-tiba melirik ke arah abak dan ternyata abak lagi tutup mulutnya.

"Abak sesak?" Tanyaku

"Abak sesak bau rokok."

Aku pun melihat kepulan asap di pintu.

Lalu berniat menegur, ya aku tahu dengan ahsan kok meski pengennya to the point.

"Mau ngapain?" Heran amak sama uni.

"Mau ngasih tahu." Jawabku polos.

"Gak usah lagi ngapain?"

"Liat tuh abak sesak."

Meski amak sama uni mencegah dan gak setuju sama tindakanku.

Bodoh amat. Aku gak peduli yang penting harus diingatkan.

"Uda, matika dulu rokoknya ya, abak sesak."

Kataku berusaha lembut. Uda yang saat itu lagi nelpon di luar menjauh lagi.

"Ngapa dikasih tahu biar ajalah. Tu menjauh dia."

Aku tetap teguh pendirian. Biar saja kan aku mengingatkan. Melindungi aku dan orang di sekitarku.

***

"Panas dada, Abak. Ternyata gak enak baunya."

"Begitulah Isa, Bak. Sesak Isa selama ini."

Air muka abak menunjukkan setuju dan menasehati uda ayang agar mulai mengurangi rokok.

"Pokoknyo, abak nio cucu abak ndak buliah merokok. Paso sakiknyo 'dek rokok ko."

Alhamdulillah abak akhirnya paham, meski harga yang harus dibayar mahal untuk membuka mata dan hatinya abak, yaitu nyawa.


***

Pekanbaru, lagi sejuk karena hujan seharin.

Aku demam dan berusaha menghilangkan rasa tidak menyenangkan ini.

24 Januari 2022

Komentar

Postingan Populer