Dear Diary (26) Itu Hanyalah Muka
Aku menangis sesegukan. Hidungku sudah mulai padat, dan pastinya kesulitan bernapas. Suami menghela napas, aku menangkap ada ketidaksetujuan dengan hal yang barusan ku ungkap.
"Ini abang mau ngomong takut isya tersinggung."
Aku makin deg-degan, apakah kalimat nya nanti bisa menyakiti dan membuat diri ini nangis lagi?
Aku diam untuk menunggu.
"Huh, dengar ya," ucapnya,"setiap orang itu ujiannya berbeda-beda," untuk kalimat itu aku mengerti, "dan ujian isya itu hanya muka, dan ada orang lain yang lebih lagi dari itu, ada yang tidak punya tangan, kaki, bahkan buta, tapi dia santai aja, kuat aja menghadapinya." Oh tidak, kalimat barusan kenapa terasa semakin sesak, jauh dari bayangan. Kupikir setelah menyampaikan niat, tujuan, proses yang kulalui kenapa pada akhirnya mau menulis buku pertama (debut) tanpa mengharapkan bakalan jadi penulis terkenal. Aku mengutarakan bahwa buku pertama itu adalah isi curhatan mengenai perjuangan menghadapi penyakit kulit yang kebetulan saat itu diwajah dan itu bukan hitungan bulan terjadi tapi sudah bertahun-tahun jadi wajar itu menjadi luka di hati ini. Ku tulis semua rasa sakit atas komentar orang mengenai wajahku. Dan ketika ingin mengukuhkan bahwa diri ini adalah seorang penulis maka curhatan yang sudah kutlis bertahun-tahun kuramu menjadi sebuah naskah buku dalam kemasan novel based on true story, sumber cerita nyata tapi disajikan dengan beberapa non fiksi agar tidak terlalu ketara aku sedang membicarakan orang lain.
Namun, setelah panjang lebar mengungkapkan isi hati dan menurutku itu paling tulus, ternyata ditangkap dengan sudut pandang yang berbeda.
"Isya itu hanya 'muka' ya, hanya 'muka'," dia pertegas lagi kalimat itu,"adalagi yang buta tapi dia sabar saja, santai," aku diam mendengar semua ucapan suami dan menunggu hingga akhir sembari menahan sesak di dada dan menjawab dalam hati, dari mana suami tahu orang buta itu sabar dan kuat, tentu diawalnya dia juga berjuang dengan hidupnya, mungkin yang ditampakkan itu dia sudah mulai berdamai, sedang diriku hanya kembali menangis ketika mengenang perjuang menulis cerita tentang aku dan jerawat sehingga menjadi buku dan cuman 17 pcs di cetak, tapi suami menangkapnya dengan melanjutkan kalimatnya, "isya selalu saja mengulang-ulang, mengungkit-ungkit lagi, kesedihan, penyesalan." Ekspresi mukanya yang terlihat sebal. Jantungku berdegup kencang ingin sekali mulut ini segera membantahnya, namun aku menikmati sesak dada ini, ternyata dia belum mengerti aku. Hanya itu yang saat itu disimpulkan
"Jika memang isya mau jadi penulis, jadilah penulis total." Itu kalimat simpulannya, ketika dia awalnya santai niatku ingin menulis buku kedua dan berharap dia mau bantu aku membiayai percetakan, seketika raut mukanya berubah dan mengawali kalimat dengan,"ini abang bukan mau matahin semangat isya, tapi menjadi penulis itu tidak mudah, kalau berharap untung itu tidak langsung, apalagi karangan, karangan itu gak ada yang mau baca, itu cuman karangan saja, ini ya,,, ada video konten kreator kartun dia membahas tentang keinginan seseorang ingin menjadi youtuber."
Dan ketika selesai menonton itu dia berkomentar lagi, "kalau isya mau jadi penulis, jadilah penulis total."
Kalimat sebenarnya panjang banget aku tidak bisa mengingat semuanya. Intinya suami mau bilang kalau aku mau jadi penulis serius, dan pasti akan ada untung ruginya, dan di zaman sekarang, karangan itu tidak banyak orang yang baca, dan cenderung menyatakan bahwa menjadi penulis itu beresiko.
Lalu, aku pun menceritakan bahwa niat aku menjadi penulis itu bukan untuk menjadi terkenal, hanya hobi, dan karena ingin punya karya jadilah sisa tabungan aku bayarkan untuk nerbitkan buku yang jumlahnya 17 pcs. Jadi, aku juga tidak muluk-muluk.
Namun, sepertinya suami menangkap berbeda. Aku juga cerita bahwa aku sudah mulai berdamai dengan wajah juga ada tanda-tanda kesembuhan maka aku bersemengat pada tahun itu menyelesaikannya.
Namun, yang kuterima respon darinya adalah "itu cuman muka, orang lain ada yang lebih parah ujiannya, dan mereka sabar, santai aja."
Disitu aku merasa bahwa perasaan, perjuangan tentang buku pertamaku tidak divalidasi, tidak diterima, dikerdilkan, dikecilkan, bahwa ujianku ini hanyalah masalah remeh semata.
Padahal jika saja suami mau membaca novel pertamaku sampai habis, aku juga menyelipkan pesan hikmahnya, dan itu juga sudah aku sampaikan,
"Meski hanya ujian wajah, tapi aku mulai menyadari pentingnya aku menerima diri, dekat dengan Allah, mulai pelan benahi makan, mengenal apa itu jsr, dan lainnya.."
Tapi, sampai sekarang komentar suami tentang tema buku pertamaku masih terngiang, itu hanya muka, hanya muka.
Komentar
Posting Komentar