Aku Lelah #6

"Kamu aman?"

Pertanyaan yang dilemparkan padaku demi melihat wajah, respon, dan desahan nafas.

Ya, aku sepertinya tidak aman.

Kesehatan mentalku sedang sensitif.

Apakah aku kurang iman?

Sholatnya kurang ya? Bacaan qur'annya kurang ya?

Aku lelah. Tolong jangan bahas itu dulu

***

Aku sedang memikirkan banyak hal. Ya, memang itu adalah bakatku, pemikir.

Setiap hari aku memikirkan hal2 yang telah aku lakukan maupun yang belum. Apakah sudah benar?

Apakah ada yang kurang?

Itu selalu berputar di otakku.

Aku mengalami kesulitan.

Sejak tahu bahwa aku kehilangan rekan kerja, sejak saat itu berusah mengikat kuat lengan, batin dan jiwa. Aku harus berkali-kali lipat lebih kuat.

Tak ada gunanya rasanya terus mengeluh.

"Aku sendiri, beri aku rekan. Aku sendiri, aku butuh teman."

Sudah capek. Semakin aku memintanya beban itu semakin ditambah.

Dulu aku ngeluh, protes kerjaan jadi admin banyak banget ngurusin semua hal, baik yang remeh sampai yang paling berefek.

Hingga akhirnya aku malah kehilangan rekan dan ditambah satu bidang admin lainnya. Admin pendidik lembaga.

Lalu, dengan adanya beberapa masukan membuatku jadi kepikiran, "benar, kerjaanku sudah melampu batas."

"Seharusnya kamu bilang sama pimpinan, kalau kamu sudah gak sanggup, terlalu banyak..."

Sudah. Aku sudah bilang. Aku sudah sampaikan. Bukan berarti mereka gak tahu.

Mereka bukan tidak tahu.

Mereka tahu. Bahkan memberikan kata-kata motivasi yang secara tidak langsung membuatku malu.

Jangan baper.

Sampai di satu titik aku sadar, ternyata aku banyak ngeluhnya ya...

Akhirnya aku putuskan untuk tetap bertahan. Mungkin ini adalah jalan yang Allah beri untuk membuatku naik level. 


***

Aku tidak tahu bagaimana menuliskan semua kemumetan pikiran dan perasaan ini.

Ketika pada akhirnya aku mempunyai partner. Meski diawal aku merasa keberatan dipasangkan dengannya mengingat kami selalu berdebat tapi pada akhirnya aku mau menerima.

Ingat lagi. Bukankah aku dulu pernah meminta partner?

Lalu dengan duo MD. Semua jenis administrasi kami kroyok berdua. Aku perlahan mulai bisa fokus meski diawal-awal sempat ada kresekan namun cepat diatasi dengan perasaan lapang dada.

Beberapa pekerjaan yang bersinggungan dengan time line kerja, rapat, reminder minta berkas dan lainnya sudah bukan pada fokusku lagi saat itu. Aku fokus pada pekerjaan balik layar.

Sesekali turun gunung jika rekan kerjaku sedang ada izin.

Dan setelah setahun berlalu menuju dua tahu. Duo MD diterpa ujian.

Kami mulai goyah. Aku dan dia perlahan komunikasinya sedikit renggang. Aku keteteran dengan kerjaan.

Bagaimana aku mengatakannya. Komunikasi tidak renggang amat. Maksudku aku mulai jadi sering merajuk. Kalau aku merajuk biasanya tidak mau banyak bicara.

Aku merasa beberapa kerjaan yang seharusnya biasa kita saling sharing, dipertengahan rekanku mulai tidak fokus. Aku kesal dan dia tahu itu.

Aku pikir itu tidak baik jika terus begini.

Aku introspeksi diri. Sepertinya memang aku yang salah. Terlalu sensitif.

Jadilah aku memberinya sebuah sendal. Tapi cara memberikannya kubuat jadi sedikit unik. Namun pada akhirnya itu tidak terlalu menarik.


***

Kami berdua sebenarnya sudah lelah. Sampai kami saling lempar sarkas bahwa tak akan bertahan di kerjaan ini.

"Besok kamu sendiri yang ngerjain akreditasi ya..." Dengan senyum penuh misterinya. Tapi aku bisa menangkap wajah sedihnya.

Aku dengan kesal menjawab, "enak saja, kamu yang bakalan ngerjain sendiri...eh, tapi kamu mau kemana? Sering banget ngomong gitu?"

Dia cuman geleng dengan senyum sok imutnya.

Aku sam sekali tidak curiga. Hingga di penghujung tahun dia memberi kabar akan pergi dan meninggalkan kerjaan ini.

Aku berusaha memasang wajah sebiasa mungkin. Tidak ingin sedih, tidak ingin senang, juga gembira. Sebiasa mungkin.

Pada akhirnya hukum alam akan terjadi, bertemu akan ada berpisah.

Aku pikir hal itu bisa terjadi.

Tapi setelah kuingat lagi tuntutan projek kerja kedepan bakalan padat dan aku akan kembali, sendiri. SENDIRI.

Ternyata, tidak bertahan lama. Dengan lokasi kerja antara Rumbai dan Kubang. Aku harus membaginya sendiri.

Walau ada yang bilang akan membantu. Itu membuatku semakin lelah.

Aku jadi harus menggantungkan harapan? Menunggu dan meminta waktu mereka.

Capek. Memikirkannya saja aku sudah capek.

***

Lagi lagi aku berpikiri. Baiklah jangan terlalu dipikirkan apalagi dikeluhkan.

Segera selesaikan apa yang perlu kamu selesaikan. Lakukan mana yang bisa kamu lakukan sendiri. Jika pada akhirnya harus menunggu bantuan orang lain pikirkan cara lain, agar kamu bisa tuntaskan jika itu bjsa diselesaikan segera.

Ya, itulah yang telah aku lakukan selama beberapa bulan di awal tahun 2023.

Sendiri? Tidak masalah. Aku bisa lakukan. Meski harus menambah jam kerja.

Meski harus mengorbankan waktu istirahat. Aku lakukan.

Baiklah, agar aku tetap waras. Aku penuhi semua rasa kekanak-kanakanku. Inner child.

Butuh apa? Coklat?

Ya, aku makan coklat karena aku suka.

Mulai menuntaskan buku novel yang belum selesai di baca sejak tahun lalu, bahkan menambah koleksi.

Apalagi?

Menonton. Ya aku tonton video kesukaan.

Menulis. Aku selesaikan naskah untuk buku pertama. Apalagi?

Main?

Sayangnya yang main atau olahraga belum bisa kupenuhi. Sudah keburu lelah di akhir pekan.

Makan dan main bukankah orang lain juga melakukannya?

Ya, tapi bagiku dulu itu sulit kulakukan. Aku abai sekali.

Sekarang harus dilakukan agar fase kesenangan tidak hilang.

***

Lalu, tibalah saat krusialnya.

Melihat aku tidak ada partner, pimpinan memutuskan menunjuk Plt. Menggantikan posisi yang kosong di tim.

Aku senang sekaligus khawatir. Senang karena aku suka bekerjasama dengannya di beberapa kepanitian. Khawatir karena dia harus membagi kerjanya dengan mengajar.

Aku akui, kerjaan di tim ini terbantu olehnya, tapi rasanya ada yang aneh.

Kenapa aku jadi makin sedih dan sensitif?

Beberapa kali aku meminta atas waktunya rasanya sangat terbatas yang bisa dia berikan.

Aku tidak bisa mengabaikan bahwa dia juga punya job utama yaitu mengajar. Tapi, aku jadi semakin ekstra kerja.

Pertama, aku harus menyiapkan bahan yang akan dikerjakan untukku dan untuknya.

Jadinya, ketika dia akan mengerjakan semua bahan sudah lengkap.

Rasanya aku bekerjan bahkan makin berlipat.

Apakah dia bisa mengerjakan?

Bisa. Bahkan ada beberapa yang selesai. Dia juga mengambil alih kerjaan yang paling tidak kusuka. Meeting. Dia selalu menjadi moderator.

Tapi, jika aku juga harus pilih-pilih waktu kerja untuknya. Menunggunya. Dan bahkan aku sedikit menunda kerjaku demi menunggunya. Rasanya aku makin lelah.

Aku bahkan tidak seperti ini dengan rekan sebelumnya.

Juga dengan rekan kerja lain yang walau bukan se tim denganku.

Ketika aku minta bantuan mereka, semua harus masak di aku. Sedangkan justru bagian itulah yang terlelah. Tapi kadang respon dingin mereka membuatku sedih.

Ingat, sedih. Aku perlahan menabung sedih.

***

Wakut teru berjalan dengan ritmen yang sama.

Hingga pada akhirnya aku semakin sedih dan sensitif.

Semua orang bisa merasakan itu.

Aku menjadi orang toxic. 

Bisik itu terus mengangguku.

Apa benar aku si sensitif dan gampang emosi menjadi nila setitik yang merusaka susu sebelenga dihidup mereka?

Rasanya aku tidak ingin hal itu. Menjadi orang badmood, lalu membuat orang lain tidak mendekat adalah kesedihanku juga.

Hingga berusaha menutupi kesal selalu dilakukan.

Aku tidak boleh begitu. Aku harus sabar.

***

Hingga sampailah pada fase-fase sensitif tingkat tinggi dengan hanya sebuah respon yang terdengar remeh.

"Temenin aku dong ke sana--"

"Enggak lagi ada kerjaan."

"Iya, tunggu kamu kosong. Kapan kosong?"

"Siang."

"Ya udah siang."

"Enggak bisa panas."

Aku bujuk beberapa kali. Ternyata aku tetap ditolak.

Kenapa aku harus ditemani? Kan bisa sendiri?

Begitu pikirku.

Ah, ternyata aku lagi lagi berharap.

Hanya saja sudut hatiku berbicara mengingatkan, "kenapa dia menolakku? Padahal jika dia lagi butuh aku, bakalan aku tolong, tapi dia kok..."

Begitulah, akhirnya aku badmood seharian.

***

Besoknya, melihat ada galon kosong di ruang kerjaku.

"Boleh titip pesan sama bapak itu, untu tolong bawakan galon ke ruangan ini?"

"Saya ke kelas gak ke ruang guru."

"Oh."

Aku tidak membujuk. Aku sadar diri. Seharusnya tahu kalau dia mengajar.

"Telpon saja bapak tu." Sarannya.

Aku hanya diam. Ketika dia pergi meninggalkan ruangan aku pun menelpon guru laki-laki tersebut. Tidak diangkat. Di pesan tidak dibaca.

Akhirnya aku badmood. Putuskan tak akan mau minta tolong sama siapapun. Sedih karena harus ditolak.

Sesepel itu memang tapi tarik masalahnya panjang.

***

Sebaiknya memang aku kerjakan semua sendiri. Seminimal mungkin tidak mau minta tolong akan tetapi sebaliknya jika mereka minta tolong, tak apa sebisa mungkin aku tolong.

Begitu prinsip yang ku pegang dalam fase ini sampai pada akhirnya semua kerjakan tertuju padaku.

Terlimpah secara tak sengaja.

Membuatku capek. Lelah. Dan pada kondisi-kondisi ketika akua minta tolong dan oeang menolak, maka bagai air bah, aku akan menangis. Jika tidak ditempat kerja maka di runmah lah aku limpahkan.

***

Aku berusaha untuk keluar dari lingkaran toxic ini.

Dan sudah punya beberapa rencana.


(Bersambung..)

Komentar

Postingan Populer