Dear Diary (9) Midnight Thingking

Midnight Thinking.

Pikiran di tengah malam. Bukan. Ini sudah Dini hari.

Banyak sekali yang ingin kutulis. Tapi seperti biasa bingung harus memulai dari mana. Penyakit umum ketika orang menulis.

Saat aku mengendarai motor dalam perjalanan pulang kerja ingin sekali membuka diary online ini, menceritakan apa yang menjadi moment di hari itu apa yang menjadi pikiran dan perasaanku hari itu dan hari - hari sebelumnya. 

***

Selamat datang kembali Ramadhan 1444. Diusiaku yang sudah bukan bocah ingusan lagi, 29 tahun.

Yap. Sudah segitu dewasanya usiaku. Tidak pernah menyangka bisa menyemtuh usia itu. Allah beri aku kesempatan untuk bertemu Ramadhan kembali. Alhamdulillah, terima kasih Ya Allah. Segala kebaikan Engkau pada hamba yang masih selalu saja mempertanyakan takdir, "kenapa aku belum?"

Gimana rasanya sendiri dalam keramaian ini?

Sendiri karena aku belum punya pasangan. 

Dalam keramaian karena ada keluarga besar. Kita hidup berdampingan.

Ya Allah, jangan biarkan aku sendirian. Persatukan hamba dengan jodoh terbaik yang Engkau berikan. Waktu terbaik dan hamba siap melaluinya.

***

Aku memandang anak-anak kecil. Lalu, akan menoleh kepada orang tua si bayi. Mereka keren karena bisa memutuskan menikah. Apalagi jika ia lebih muda usianya dari aku.

Aku jadi bertanya. Apa yang menyebabkan aku belum juga di anugerahkan pasangan?

Aku sholat kurang? Bisa jadi

Apa bacaan ngaji kurang? Bisa jadi

Apa puasaku kurang? Bisa jadi

Apa karena dosa-dosa kecilku? Bisa banget.

Aku sedih. Semua hal itu memenuhi pikiranku. Rasanya sesak.

Apa karena aku pernah menolak seseorang dan sekarang aku merasakan akibatnya?

Tidak. Ya Allah. Jangan izinkan hal itu terjadi.

Hamba tidak bermaksud sangat pemilih T_T

Dalam waktu yang berjalan. Aku berusaha mengalihkan keinginan menikah (terlalu mencemaskannya) dengan berbagai aktivitas yang kusenangi, walau ditengah padatnya amanah. 

Tidak ingin menggebu lagi. Itu tujuanku. Tapi semakin ke sini. Aku terasa hampa. Bahkan sholat pun gak kusyuk.

Aku memikirkannya lagi. Ditambah partnerku sudah lebih dulu menikah dan sekarang dia sudah jauh. Dia tahu aku akan sedih jika mendengar dia menikah. Lalu dia memberitahu diwaktu yang sedih deka

Dia bilang, aku gak boleh cemburu dengannya.

Tahu tidak? Aku makin sedih dan makin cemburu. Tapi instingku sudab lama terasa dan sebenarnya itu benar adanya.

Ternyata menikah itu gak mudah. Aku tidak perlu jauh-jauh melihat contoh. 

Kakak-kakak kandungku. Keluarga mereka penuh dengan cerita.

Jujur. Aku tidak bermaksud trauma. Takut menikah. Tidak itu tidak menutup keinginanku.

Justru saat aku menyaksikan cerita mereka saat ini, mungkinkah ini jeda waktu yang Allah beri biar aku belajar banyak?

Tapi, Ya Allah, aku ingin belajar sembari praktiknya sekalian :(

Jika Engkau izinkan.

***

Kamu ingat rukun iman ke enam?

Yap, percaya akan takdir. Baik dan buruk.

Takdir apa yang sedang aku jalani?

Aku takut menerjemahkannya.

Yang kutahu dengan segala keinginan yang belum terwujud. Sudah begitu banyak kebaikan yang sudah kurasakan, baik disadari maupun tak kusadari.

Aku baru saja menyelesaikan buku novel Janji, Tere Liye. Sudah setahun lalu aku membeli bukunya. Begitu lama aku berhasil menamatkannya.

Disana tokoh utamanya juga menghadapi takdir yang ia tak duga. Ada takdir buruk yang menyakitkannya, hingga dia berusaha menutupi hal itu dengan terus bekerja hingga lelah dan tak ada waktu untuk memikirkannya. Tapi salah. Ia justru terus memimpikannya dan kenangan buruk itu muncul di celah waktu yang ia punya.

Lalu apa yang membuat tokoh utama sadar?

Salah seorang mengatakan, "kenapa hanya fokus pada kenangan buruk itu? Bukankah ada kenangan baik dialami, kenapa gak itu saja yang diingat? Sisi baik. Jadi tak perlu menyiksa diri seperti itu. Lihat, Allah terus memberkahimu, kemana pun kamu pergi keberuntungan selalu menyertaimu."

Aku jadi terenyuh baca di bagian itu. Bukan hanya tokoh utama. Seakan-akan itu memang aku yang sedang dinasehati. Aku bisa merasakan emosi tokoh utamanya. Luruh semua rasa sakitnya, berganti dengan syukur.

Aku juga sedang melakukannya. Selalu mengambil hikmah. Sisi baiknya.

Kenapa aku seperti ini?

Tentu takdir. Baik yang bisa kuubah dengan pilihan-pilihan sulit yang berhasil aku ambil. Maupun takdir yang tak bisa kuubah, yang tak bisa kuhindari.

Masih ada Amak dan Abak. Tempatku untuk berbakti lebih banyak lagi. 

Kuingat-ingat lagi memangnya waktu kami kurang, ya?

Dan bisa jadi benar adanya.

Meski kami sering di rumah. Kami jarang berbicara hati ke hati. Sibuk dengan aktivitas sendiri.

Di saatku masih kecil. Amak dan Abak sudah sibuk kerja. Seakan tidak ada waktu untuk bersantai karena banyak mulut-mulut yang harus diberi makan. Aku lupa bagaimana perasaan ketika di tinggal kerja.

Amak dan Abak kerja di rumah kok. Buka usaha. Amak buat bahan makan alias bagian produksi sedang Abak fokus bagian penjualan. Jualan keliling. Tentu chef utamanya Abak. Amak mengikut resep.

Kadang bahkan aku dan kakak-kakaku harus bagi-bagi tugas rumah. Cuci piring, cuci baju dan lainnya. Kadang juga bantu Amak dan Abak. Waktu masih jualan es krim tahun 2000-an, cup kecil untuk jualan es kami dapatkan dari bekas cup hidangan bekas pesawat. Tentunya, kami cuci lagi. Itu yang aku lakukan bersama kakaku. Aku ingat banget, kami sering melakukannya malam hari. Banyak pokoknya lebih dari 100. Setelah cuci tentu basah. Menghemat tenaga kami susun piramid cupnya. Biar shubuh-shubuhnya bisa dilap seklias karena gak terlalu basah. Begitulah.

Tak berhenti di situ. Pernah juga jualan siomay saat aku duduk di kelas SMP.

Malamnya adonas dibuat. Dibulat-bulatkan baksonya. Aku malam hari belajar menemani kakak membuat adonan. "Woi, bantuinlah." 

Kadang aku mengerjakan pe er, jadi gak bisa bantu banyak. Paling bantu bulatin bentar lalu lanjut mengerjakan pe er. Itupun sudah izin sama Abak.

Atau pernah juga akhirnya kembali jualan es krim karena isu bakso boraks atau formalin menyebar. Jadinya gak bisa jualan siomay lagi.

Shubuh setelah aku selesai mandi, sholat dan pakai seragam, aku bantu mengiris agar-agar menjadi petak-petak kecil.

Begitulah. Amak dan Abak pekerja keras.

Apakah kami tidak pernah berbagi cerita. Tentu saja pernah. Tapi biasanya topiknha ringan. Candaan. Hidup sudah berat dibawa serius.

Ditambah lagi aku bungsu. Jadi gak banyak cerita. Banyakin disuruh nurut aja.

Hingga pada akhirnya, saat Amak dan Abak sudah sepuh, giliran aku yang bekerja. Ternyata kami masih jarang juga ceritanya.

Dan ketika perlahan aku mulai belajar parenting, aku jahit kembali rasa itu. Kuhangatkan lagi rasa yang agak dingin.

Dan saat Abak jatuh sakit. Disanalah semua kesempatan masih bersama dimanfaatkan.

Inikah sisi baik kenapa aku masih sendiri?

Agar moment bersama Amak dan Abak kumaksimalkan. Baktinya. Penerimaan. Dan semua yang ada pada mereka. Menghargai apa itu yang namanya "keluarga".

***

Aku juga sudah mulai belajar bahasa asing selain bahasa inggris.

Bahasa korea. Sudah sekian lama aku menyukai bahasanya, baru tahun lalu aku belajar agak serius, pakai duo lingo.

Bahasa Jepang. Sudah pernah belajar di tahun 2014 lalu. Tapi, aku belum kuasai betul.

Mandarin. Dulu pernah belajar di SMK. Tapi, ya...itu, gak serius mengajar gurunya, hanya memenuhi capaian laporan belajar.

Bahasa Arab. Belajar juga, meski hanya pakai duo lingo karena ada yang ribut kenapa aku gak belajar bahasa Arab kok malah korea, jepang, dsb. Bahasa Arab itu pernah aku dengar harus ada gurunya. Gal boleh sendiri. Yang lain masih bisa otodidak. Tapi, okelah kita coba dan ternyata not bad.

***

Menulis.

Ya, aku mulai melakukannya. Kali ini gak rutin-rutin amat tapi lumayan. Aku mengangsur naskah yang sudah hampir jadi. Juga menulis di blog. Meski kadang pembicaraannya lari kemana-mana.

***

Belajar memahami watak, karakter, komunikasi dan lainnya.

Mulai menghafal lagi juz 30. Targetnya sudah bisa hafal juz 28 dan 29.

Lalu, belajar banyak hal. Renacanya aku mau beli buku fiqih munakahat.

Aku dapat nasehat, selama masa sendiri atau penantian ini, jangan kebanyakan risau, justru harus banyak mempersiapkan. Biar nanti gak banyak bengong saat sudah ada pasangan.

Sudah beli buku "Inilah proposal jodohku". Bahkan pernah aku promosikan sama teman biar diterinspirasi tapi justru dia lebih dulu ketemu jodohnya. Aku malu dan sedih.

Aku isi beberapa di buku tersebut. Sudah empat tahun lalu buku itu aku beli. Mengisinya berangsur.

Beberapa waktu lalu aku bahkan sudah mulai iseng, hitung-hitung budget pernikahan. Biar gak banyak melamunnya saat si dia sudah datang. Aku sudah ada gambaran.

Allah, jadikan ikhtiar ini dalam rangka menanti yang bernilai ibadah di sisiMU.

Bukan waktu menanti yang sia-sia.

Juga mengurangi terlalu merisaukan jodoh.

Kalau kepikiran terus, aku bawa nulis.

Kalau kepikiran terus, aku buat rencana, seperi hitung budget.

Kalau kepikiran terus, aku baca buku yang masih belum ditamatkan.

Kalau kepikiran terus, aku perbanyak dzikir.

Kalau kepikiran terus, kadang aku hanya bisa nangis.

***

Sudah, ya. Udah jam 2 pagi.

Aku harus tidur sejenak karena beberap jam kedepan aku akan sahur hari ketiga.

Selamat Puasa.

25 Maret 2023

3 Ramadhan 1444 H.

(Di kamarku, studioku)

Komentar

Postingan Populer