Dear Diary (4)

Apa kemarin hujan?

Pikiran aku berkecamuk. Aku gak tahu hrus dari mana memulai cerita ini.

Sore ini aku benar-benar tidak tahu akan turun hujan.

Aku tak memperhatikan langit begitu dalam. Jadinya tidak menyadari, sore ini mendung atau tidak.

Ini memang sudah bulan Desember. Tapi tahu kan? Ilkim dunia sudah berubah.

Kenapa aku jadi bahas iklim?

*

Sore itu aku mendapatkan sebuah kabar yang aku belum bisa ceritakan saat ini.

Aku seharusnya senang, tetapi kenapa malah jadi sedih?

"Kamu jangan cemburu sama saya, ya." Katanya padaku. Dia memintaku berjanji sebelum dia memulai cerita.

Aku pikir, kita bukan lagi saatnya jaim. Dan jadinya aku respon.

"Saya sudah cemburus bahkan sebelum kamu cerita."

"Pokoknya kamu jangan cemburu," katanya mengulang lagi.

Aku semakin dinasehatin begitu semakin tidak bisa menapiknya.

"Biarkan aku cemburu. Jangan larangku. Jika perasaan itu yang muncul aku akan mengakuinya dan selanjutnya urusanku berdamain dengannya (cemburu)."

Dengan bibir yang semakin bertaut tapu dengan pikiran yang ingin menumpahkan semua isi kepalanya. Dia mulai bercerita dengan mata berkaca-kaca. Dia hebat bisa menahan air matanya disaat menceritakan hal terberat. Dengan kalimat putus-putus. Ia berusaha menceritakan tetapi memilahnya. Aku menghargainya. Pasti itu tidak mudah baginya. Ia bukan tipe orang yang senang menceritakan masalahnya pada orang lain.

"Kamu orang pertama yang saya beritahu." 

Aku mengangguk dan berterimakasih.

Sudah hampir setahun dia memendam masalah ini. Dengan sikapnya yang perlahan aku sudah membaca dan menduganya.

*

Setelah akhirnya dia merasa selesai sudah ceritanya.

"Ini baru bab satu," kataku sesaat kita akan berpisah, pergi meninggalkan tempat itu.

"Saya menunggu bab duanya." 

"Bab duanya tunggu dulu. Beri saya waktu."

Baiklah, aku juga tidak terburu-buru.

Bukankah sudah lama aku memberinya kode bahwa aku siap mendengar ceritanya. Tapi ia baru mengatakan sekarang setelah sekian lama menahannya. Ia berusaha menjaga hatiku agar aku tidak sakit.

Padahal itu kabar baik seharusnya. Tapi sudah seperti soft launching perpisahan.

"Kamu pasti nantinya menangis malam-malam."

Aku tidak mengerti kenapa ia menebak itu. Apa itu kalimat paradoks?

Mungkinkah maksudnya, "jangan nangis ya."

Aku si gengsi hanya menggeleng tipis. Kan kubuktikan aku gak menangis malam ini. Hanya malam ini, gak tahu malam-malam berikutnya.

*

Saat perjalanan akan mengambil wudhu, aku berpikir. Betapa mengerikannya sebuah firasat. 

Ya Allah, jangan biarkan aku berfirasat buruk terhadap takdirku.

Aku pun teringat sudah lama tidak berbincang dengan hujan. Momen kehadirannya beberapa waktu lalu serasa hanya biasa.

Seingatku sudah lama juga tidak hujan. Atau aku saja tidak menyadari, bahwa kemarin lusa hujan? 

Makanya di awal cerita ini aku bertanya.

Apakah kemarin hujan?

*

"Hujan. Sudah lama aku gak berbincang dengannya. Malam ini bisa hadir gak? Tapi pas malam saja, soalnya sore ini aku masih di tempat kerja.. Menemani tidurku disaat merasakan perasaan yang bingung. Antara harus senang tapi terselip kesedihan."

Karena biasanya disaat hatiku merasa sedih, hujan turun.

Tapi tidak selalu hujan turun tandanya aku sedih.

Aku suka hujan.

*

Dan malamnya hujan beneran turun, tapi sayangnya aku masih belum sampai di rumah.

Aku bahkan tak sadar bahwa doaku sudah dikabulkan.

Hujan beneran turun. Allah izinkan.

Dia sudah menemani diriku ini. Semoga aku bisa merasakan perasaan normal seorang teman kepada temannya ketika mendapatkan berita baik. Senang.

Aamiin.

* 5 - 6 Desember

* Aku yang tertidur lalu lanjut nulis subuhnya.


Komentar

Postingan Populer