Ketika Semuanya...

Ketika semuanya seperti sudah kulakukan. Kuliah S1, kerja dan itu belum cukup untuk membuktikan pada mereka bahwa aku bukan lagi anak kecil.

Menikah.

Mereka mengkhawatirkan diriku yang masih saja sendiri. Belum ada pasangan.

Ketika hampir semua sepupu yang seumuran denganku sudah menikah dan mempunyai anak bayi, aku masih asyik menanti.

Ketika semua para tetua mereka melempar senyum dan tak jarang canda kepadaku sembari mengatakan, "kapan, Sa?"

Aku tersenyum dan mengharap doa sebagai balasan.

Turunkan kriteria. Terimalah dulu calon yang ditawarkan. Dia memang masih banyak kekurangan, tapi dia bisa kamu ubah, kok.

Beberapa ada yang berasumsi, seperti aku akan menjadi seperti Asiyah yang bersuamikan fir'aun. Menjadi ladang amal untuk bekalku ke surga.

Padahal, aku berharap bisa seperti Khadijah yang begitu mencintai Muhammad, hingga tulang belulang rela ia berikan untuk jalan dakwah suaminya. Aku berharap ladang amal seperti itulah. Bukan aku yang berjuang sendiri, tapi bersama.

Aku berharap bisa menjadi Fatimah yang menanti cinta suci pada yang halal saja, Ali. Datang dengan segala kerendahan hati, namun cinta yang begitu indah dan terjaga. Mencintai Fatimah tanpa setan ketahui. 

***

Ketika semua itu kuharapkan, tak mudah untuk dijelaskan pada mereka yang realistis dengan kehidupan.

"Mana ada dalam adat mereka, menikah tanpa pacaran hanya melalui proposal?!"

Suaranya meninggi, tak setuju dengan apa yang terjadi di sekitar duniaku. Itu seperti mencoreng adat istiadat, memalukan ninik mamak. 

"Aku tak kan datang, jika itu yang terjadi!"

Sebuah sumpah yang sama sekali tak ingin kuingat. Aku berharap dia lupa dan mencabut sumpah itu jika ia pun masih ingat.

Aku tidak berbuat zina, hanya malah menjaga untuk tidak pacaran. Namun, mereka tak senang.

"Niat nikah gak sih?"

Niat. Niat banget. Sampai aku menangis. Beginikah sedihnya menjadi jomblo?

Saat, meme dibuatkan, menertawakan (?) tentang kepedihan hidup seorang jomblo.

Ya Allah, apakah menjadi sendiri itu hina?

Itu yang kutanya ketika semuanya menjadikan kesendirian adalah lelucon.

***

Ketika semuanya sudah berlalu, pertikaian bertahun-tahun. Mencoba menjelaskan pemikiran dan hidupku pada mereka yang tidak dan masih belum mengerti duniaku...

Aku lelah.

Lelah, harus membujuk hati. Mencari kalimat-kalimat yang terselubung pada keluargaku.

Ada yang bilang, kita jangan gamblang menjelaskan pemikiran kita yang belum tentu bisa mereka pahami, bahasakan dengan kalimat yang lebih sederhana.

Begitu.

Tetapi, aku rasa, sudah melakukannya. Bukan tipeku, menjelaskan dengan gamblang apa yang menjadi landasanku. Bertahun-tahun hidup dengan mereka aku lebih sering diam.

Dan akhirnya aku pun menjelaskan dengan gamblang dan mereka marah aku mencoba jalan taaruf? Mereka tidak bisa mengerti dan menganggap aku berlebihan.

Apakah aku tidak menggunakan kalimat sederhana?

***

Tetapi itu semua sudah mulai mereda. Mereka sudah mulai bosan dengan keras kepalaku.

"Terserah!"

Menjadi andalan mereka semua saat ini. Ketika semuanya telah mereka lakukan agar aku tak sendiri di bumi ini.

Agar usiaku tak terus bertambah sendiri tanpa kekasih hati.

***

Ketika semuanya itu telah terjadi. Maka aku bisa apa?

Ketika Allah masih ingin melihat ikhtiarku dalam penantian dan memang belum boleh bertemu dengan pasangan, aku tidak bisa apa-apa lagi selain patuh, taqwa dan menanti.

Ketika semuanya...pun (berharap) berakhir indah.


Pekanbaru, 10 Juni 2020
Masih Syawal 1441 H
Di kamar tika (dia buat makalah tugas kuliah)



Komentar

Postingan Populer